34

803 114 1
                                    

Teman2,
Novel karya2 saya tersedia versi buku cetak dan ebook.

Buku cetak READY STOCK, bisa diorder pada saya, WA 08125517788

Untuk ebook, tersedia di aplikasi berikut (unduh aplikasinya di playstore):

> Karya Karsa
> Play Buku
> Lontara

* khusus di karya karsa harganya lebih murah

*semua cerita terbaru saya hanya tersedia di Lontara (cara belinya pergi ke profile dan topup saldo lontara, buat temen2 yang gak bisa top up, boleh hub aku di wa 08125517788, nanti aku bantukan topup)

Cerita dilanjutkan di Wattpad sampai TAMAT!

34

Malam belumlah larut, jam digital di meja belajar baru menunjukkan pukul sembilan malam. Hazel duduk bersandar di kepala ranjang sambil membolak-balik halaman sebuah novel remaja dengan tidak antusias. Novel itu ia beli beberapa waktu lalu dan belum sempat dibaca.

Tadi, Hazel bersama ayah-ibu dan kedua adiknya makan malam bersama di luar, setelah itu mereka kembali ke rumah tanpa jalan-jalan ke mal atau mana pun. Ayah Hazel tidak terlalu suka jalan-jalan ke mal pada akhir pekan karena menurutnya mal terlalu sesak saat itu.

Dering pelan ponselnya membuat Hazel melirik malas ponsel yang tergeletak di sampingnya. Ia pikir, tentunya Mitha atau Dion Abian yang mengiriminya pesan. Sejak Hazel putus dengan Kevin, Dion semakin intens mengiriminya pesan.

Dengan enggan, Hazel meraih ponselnya. Namun saat melihat layar ponsel dan membaca nama Devan-lah sebagai si pengirim pesan, seluruh semangat membajiri pembuluh darah Hazel.

Hazel segera membuka pesan dari Devan.

Hai, Hazel... apa kabar?

Senyum Hazel mengembang lebar. Ia membalas;

Baik. Kamu?

Aku baik juga. Hmm... Zel, besok ada waktu? Mau jalan-jalan?

Mata Hazel melebar memandang layar ponselnya. Jantungnya berdegup berkali-kali lebih cepat. Ia ingin berteriak gembira. Ini ajakan kencan. Hazel dengan cepat membalas;

Mau.

Jam 2 ya aku jemput.

Oke. Aku tunggu.

Setelah itu Hazel cepat-cepat mengirim pesan pada Dion Abian dan membatalkan janji dengan cowok itu. Ternyata tak butuh hujan lebat dan petir yang sambar-menyambar untuk membatalkan janjinya dengan Dion. Hazel tahu ia sudah mengecewakan Dion, tapi Devan-lah yang terpenting. Ini kali pertama Devan mengajaknya jalan, dan menurut Hazel ini bukan lagi jalan-jalan biasa, tapi kencan.

***

Saat bertemu Devan keesokan harinya, Hazel lega melihat cowok itu hampir sembuh sepenuhnya. Bekas memar di wajahnya hanya meninggalkan warna kuning samar di kulit sewarna madunya.

Setelah berpamitan dengan orangtua Hazel, mereka berdua pun meninggalkan rumah. Hazel yang memakai celana jins panjang serta jaket dari bahan jins, duduk di sadel belakang dengan hati riang. Helm terpasang di kepalanya dengan benar.

Motor melaju membelah jalan raya. Hazel bersyukur saat itu langit sedang dihiasi awan mendung, jadi tidak terasa panas. Tapi, meski tidak mendung pun, Hazel yakin ia tetap akan senang bisa jalan dengan Devan.

Devan mengajaknya ke mal BCS.

Keduanya menikmati es krim sambil mengobrol santai, berbagi cerita lebih banyak tentang kehidupan masing-masing.

"Jadi kamu berapa bersaudara, Zel?" tanya Devan sambil menyendok es krim dan menyuapnya ke mulut.

"Tiga, aku anak pertama. Ada dua adik, yang cewek SMP, yang cowok masih SD. Kalo kamu?"

"Aku juga tiga. Aku anak kedua. Kakakku kuliah di UIB, adikku, cewek, masih SMP."

Hazel manggut-manggut sambil menyuap es krim ke dalam mulut. "Apa nanti kamu juga kayak kakakmu, kuliah di UIB?" tanya Hazel sambil memandang Devan lekat-lekat.

"Sejujurnya aku belum tau, Zel." Devan tertawa kecil, ia bersandar santai di kursi. Matanya balas menatap Hazel, dengan tatapan dalam.

Wajah Hazel memanas merasakan kedalaman tatapan mata cokelat keemasan itu. Ia menunduk memandang mangkuk es krimnya.

"Kalau kamu?" tanya Devan.

Hazel mengangkat wajah memandang Devan kemudian mengangkat bahu. "Aku juga belum tau."

Pembicaraan-pembicaraan ringan seputar diri masing-masing itu berlangsung lebih dari satu jam. Hazel sama sekali tidak merasa bosan, justru penasaran, ingin mengetahui lebih jauh lagi tentang Devan.

Setelah keluar dari kafe itu, Devan mengajak Hazel ke toko buku yang ada di mal tersebut.

Saat tiba di toko buku, keduanya berhenti di area new arrival.

"Kamu suka baca apa, Dev? Novel, suka?" tanya Hazel saat melihat Devan hanya memandangi dirinya yang sedang melihat-lihat novel.

"Oh, aku suka novel. Tapi kadang-kadang aku juga baca buku motivasi."

"Oh ya?" Hazel memandang Devan dengan mata melebar.

"Nggak percaya aku baca buku-buku seperti itu, ya?"

Hazel tertawa kecil. "Ya, rasanya dikit banget remaja seusia kita yang baca buku-buku begitu."

Devan tertawa kecil. "Ya, aku masuk katagori yang dikit itu."

Tawa keduanya meledak hingga menarik perhatian pengunjung lain.

Hazel dan Devan serentak memelankan suara mereka.

"Jadi, nurut kamu, bagusan aku baca buku motivasi yang judulnya apa?" tanya Hazel sambil mengajak Devan menuju rak-rak yang memajangkan buku-buku motivasi.

"The magic of thinking big karya David J. Schwartz."

"Wah, dari judulnya aja udah luar biasa."

"Ya, aku disuruh papa-ku baca buku itu dan ternyata isinya bagus banget."

"Ah, kalo gitu aku mau beli," kata Hazel.

Keduanya tiba di rak buku-buku motivasi. Hazel mencari-cari di deratan buku-buku motivasi yang tersusun rapi, tapi tidak menemukan buku yang Devan maksud.

"Kok nggak ada, ya?" gumam Hazel pelan.

"Setau aku itu buku best seller, mungkin udah habis. Bentar aku lihatin."

Devan menuju PC yang terdapat tidak jauh dari mereka dan mengetik judul buku tersebut. Ternyata stok kosong.

"Bukunya sudah habis, Zel."

"Yah ..., sayang sekali."

"Nanti punyaku, aku kasi kamu ," kata Devan.

Mata Hazel berbinar. "Benaran?"

Devan mengangguk.

Hazel tersenyum lebar "Nanti kalo udah selesai baca, aku balikin lagi ke kamu."

Devan tersenyum kecil dan menggeleng. "Nggak usah. Buat kamu aja."

"Ah, makasi, Devan."

***

Evathink
IG/YOUTUBE: Evathink

Hazel dan Devan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang