18

1.2K 166 13
                                    

18

Bel tanda pulang berdering. Tak lama setelah guru yang mengajar berlalu, seluruh murid berhamburan keluar dari kelas.

Devan masih duduk di kursinya, membiarkan Ucup yang tampak patah hati bergabung dengan teman yang lain.

Seolah sudah berjanji, Hazel juga melakukan hal sama, Devan dapat mendengar Mitha berpamitan pada Hazel, mengatakan ia pulang dengan Niko.

Setelah kelas hampir kosong, Devan beranjak ke meja Hazel.

"Zel."

Hazel tersenyum. "Ya?"

"Nanti sore jadi?"

"Jadi dong." Hazel tersenyum lebar. "Kamu bisa, kan?"

"Bisa. Aku jemput jam empat, ya."

Hazel mengangguk senang.

"Tapi aku pake motor, Zel. Nggak apa-apa? Soalnya mobil cuma satu dan dipake bokap."

Hazel tersenyum menenangkan. "Aku senang naik motor."

"Oh, ya, bagus kalo gitu. Ya udah, sampai jumpa jam empat nanti, ya?"

"Oke."

Kemudian keduanya meninggalkan kelas bersama-sama.

***

Sore itu Hazel senang bukan main. Ia menghabiskan waktu hampir satu jam menikmati pameran lukisan yang diadakan di mal BCS. Kevin jelas terlupakan.

"Aku baru tahu kalau kamu suka lukisan," kata Devan saat mereka berdua naik eskalator menuju lantai atas.

"Sebenarnya aku suka melukis," kata Hazel.

"Oh ya?" Devan menatap Hazel takjub.

Hazel tersipu malu. "Yeah ..., cuma karena sibuk dengan tugas sekolah, aku hanya sesekali melukis." Hazel tidak mengatakan pada Devan kalau ia juga sudah melukis sketsa wajah cowok itu. Tidak, belum saatnya.

"Sayang sekali," kata Devan. "Padahal bakat yang kamu miliki itu luar biasa, Zel."

Hazel tertawa kecil. "Iya sih, tapi nanti aku coba atur waktu." Yang pastinya mustahil. Bagaimana ia bisa mengatur waktu untuk melukis jika di pikirannya mulai bermunculan rencana-rencana menghabiskan waktu bersama Devan? Jalan-jalan dengan cowok itu pasti menyenangkan.

Keduanya tiba di toko buku yang ada di mal itu. Mata Hazel melebar saat melihat sebuah novel memasuki peringkat satu terlaris.

"Devan, lihat! Itu novel kesukaanku." Hazel menujuk novel D. A. ferdinand. "Wow. Novel ini baru terbit lho, secepat ini masuk katagori best seller," kata Hazel takjub.

Devan di sisi Hazel hanya tersenyum samar.

Hazel meraih novel itu. "Tau nggak, Dev, ini penulisnya anak SMA kita lho." Kebanggaan mewarnai nada suara Hazel.

"Aku tahu," sahut Devan dengan senyum tipis.

Hazel menoleh ke arah Devan. "Kamu tau dari mana? Apa kamu tau siapa D. A. Ferdinand?"

Devan menyeringai samar. "Semua murid SMA kita pasti tau. Kan, cerbernya ada di mading."

"Oh, ya benar," kata Hazel dengan nada sedikit kecewa. Tadinya ia berharap bisa mengetahui informasi tentang D. A. Ferdinand dari Devan.

"Dari namanya, penulisnya kayaknya cowok, ya. Dia pasti cowok yang romantis banget."

"Emang kamu suka cowok seperti D. A. ferdinand itu, Zel?"

"Suka. Suka banget malah. Aku ngehayal suatu hari nanti bisa ketemu dia. Bisa pacaran sama dia."

"Lalu Kevin gimana?"

Wajah Hazel seketika merona. Ia tersenyum salah tingkah. Hazel sendiri juga tidak mengerti mengapa berkata begitu.

"Gimana?" kejar Devan.

"Apanya?" tanya Hazel bingung.

"Kalau ternyata D.A. ferdinand naksir kamu, dan mau pacaran sama kamu, apa kamu mau?"

Hazel tertawa gugup. "Yah, mungkin mau."

Senyum samar melengkung di wajah Devan. "Lalu Kevin gimana?"

Hazel mengangkat bahu dengan wajah merona malu. "Kenapa kamu nanya gitu?" Hazel balik bertanya setelah sesaat yang hening.

"Ya, nggak apa-apa. Pengen tau aja. Ya udah yuk, kita lihat buku yang kamu mau. Nanti keburu malam."

Hazel mengangguk. Ia meletakkan kembali novel D. A. Ferdinand itu ke tempat semula, kemudian bersama Devan berjalan menuju tempat novel terbaru dipajangkan

***

Evathink

Hazel dan Devan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang