38

793 107 4
                                    

38

Hazel sedang duduk menonton televisi bersama kedua adik dan orangtuanya di ruang keluarga tatkala bel pintu berbunyi. Beberapa saat kemudian Hazel diberitahu Bi Inah kalau ada temannya yang bernama Devan datang.

Dada Hazel seketika berdebar. Ia tidak menyangka Devan akan datang menemuinya malam ini. Waktu mengantar dirinya pulang tadi siang, Devan tidak bilang akan datang berkunjung malam ini.

"Siapa Devan?" tanya ayah Hazel penuh rasa ingin tahu.

"Calon mantu kita, Pa. Pacar baru Hazel," kata ibu Hazel sambil mengedipkan sebelah mata, menggoda.

Wajah Hazel seketika merona. Dengan malu-malu ia berpamitan pada kedua orangtuanya dan segera menemui Devan di beranda rumah.

"Hai ...," sapa Hazel begitu tiba di beranda. Jantungnya berdegup kencang. Devan berdiri di teras dengan sebelah tangan berada di belakang badan. Malam ini cowok itu tampak tampan dengan celana jins panjang dan kemeja pas tubuh berwarna putih. Rambutnya tersisir rapi dan menawan.

"Hai, Zel ...."

"Kok nggak masuk ke dalam?" tanya Hazel sambil berjalan menghampiri Devan.

"Nggak apa-apa. Di luar enak, banyak angin. Segar."

"Oh." Hazel manggut-manggut. Jantungnya masih setia berdegup kencang dan Hazel dengan susah payah menyingkirkan rasa gugup yang dengan dahsyat melandanya. Ini kali pertama Devan datang berkunjung—selain saat menjemput dan mengantarnya ketika mereka kencan. Apakah Devan berencana melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus di lapangan futsal tadi? "Ngomong-ngomong silakan duduk, Devan, aku minta Bibi bikinkan minuman dulu, ya." Hazel tersenyum gugup dan berbalik.

"Eh, Hazel. Nggak usah."

Hazel kembali berbalik menghadap Devan dan seketika terkejut saat melihat Devan mengulurkan sebuket bunga mawar segar padanya.

"De..van...?" Hazel bergumam terbata.

"Dua belas kuntum bunga mawar, Hazel."

Hazel tersenyum haru dan menerima bunga tersebut kemudian membawanya ke hidung, menghirup aromanya yang wangi dan segar.

"Kenapa dua belas kuntum?" tanya Hazel sambil memandang Devan dengan mata berbinar-binar.

Devan tersenyum salah tingkah. "Sebenarnya aku juga nggak tau sih. Tadinya mau ngasi tiga, tapi kok dikit benget ya. Jadi ya udah dua belas aja."

Seketika tawa Hazel pecah, merasa jawaban Devan sangat konyol. Ia pikir Devan akan mengarang alasan romantis yang tak masuk akal.

"Kenapa ketawa?" tanya Devan dengan alis terangkat.

Hazel berusaha menahan tawannya. Ia menggeleng samar menjawab pertanyaan Devan. "Nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, makasih Devan bunganya. Aku suka."

"Benar?"

Hazel mengangguk. Ia tersenyum manis pada Devan. tanpa Hazel duga, Devan meraih tangannya dan meremas lembut sementara mata cowok itu terpaku di mata Hazel.

"Hazel ...."

"Ya?" Napas Hazel tersekat.

"Jadi apa jawaban kamu?" tanya Devan lembut.

Bibir Hazel terasa kering. Ingin ia menjilat bibirnya, tapi merasa yakin perbuatan itu terkesan kurang sopan. "A-apa?" tanya Hazel lirih.

"Sejak lama aku suka kamu Hazel. Mau nggak kamu jadi pacar aku?"

Jantung Hazel berdegup kencang. Matanya hampir tak berkedip menatap Devan yang juga sedang menatapnya.

"Sejak kapan kamu suka aku, Devan?" tanya hazel lembut.

"Mungkin sejak kita sekelas beberapa bulan lalu, atau mungkin juga sejak aku melihatmu pertama kali saat MOS."

Mata Hazel melebar. "MOS?" tanya Hazel tak percaya.

Devan mengangguk. "Kamu ingat, kan, saat kita dihukum karena sama-sama telat datang."

Mata Hazel menerawang, ingat hari kedua MOS ia datang terlambat. Saat itu ada beberapa murid baru—salah satunya tampak menonjol dengan tubuh tinggi gagahnya—yang juga terlambat. Alhasil mereka dihukum keliling lapangan sebanyak tiga kali. Saat Hazel tidak sengaja terjatuh, cowok tinggi gagah itu membantunya.

"Kamu yang bantuin aku waktu aku jatuh," kenang Hazel.

Devan tertawa dan mengangguk.

Hazel memandang Devan dengan mata berbinar.

"Jadi, apakah kamu juga suka aku? Mau nggak jadi pacarku?" Remasan tangan Devan di tangan Hazel sedikit menguat.

Hazel memandang mata cokelat keemasan Devan yang begitu indah, kemudian ia mengangguk. "Ya, aku mau, Devan. Aku juga suka kamu."

***

Hazel bukan hanya senang karena kini ia dan Devan sudah resmi berpacaran, tapi juga lega karena Tania sudah tidak berusaha mendekati Devan lagi. Cewek itu tampak patah hati parah ketika Devan mengatakan mereka berpacaran, tapi kini Tania sepertinya sudah mengalihkan hatinya dengan mudah pada cowok lain. Cewek itu mendekati Ariel, kapten basket baru pengganti Kevin.

Sayang, Dion Abian tidak putus asa. Cowok itu masih gencar mendekati Hazel. Seperti pagi ini, saat memasuki kelas, Hazel melihat beberapa bingkisan indah di atas meja belajarnya.

Mitha yang sedang menbgobrol dengan Sisy dan satu teman lain, mengangkat wajah dan tersenyum menyapanya, kemudian cewek itu kembali mengobrol. Hazel duduk di kursinya, segera meraih bingkisan itu.

Yang menarik perhatiannya adalah kertas biru yang dilipat berbentuk hati. Hazel segera membuka lipatan kertas itu dan membaca bait-bait puisi yang ditulis tangan.

Hazel tersenyum samar. Seperti biasa, puisi dari sang pengirim misterius sangatlah indah dan menggetarkan dada. Akan tetapi berhubung sekarang ia sudah berpacaran dengan Devan, Hazel tidak akan memelihara getar itu lagi.

Kemudian Hazel membuka bingkisan berisi cokelat yang dibungkus kertas kado bewarna merah dengan gambar bunga mawar, dan nama pergirimnya tertera dari Rian, kelas XII IPA 1. Hazel tersenyum samar.

Lalu Hazel meraih bingkisan ketiga. Ternyata sebuah novel remaja yang baru terbit. Pengirimnya Dion Abian.

Ada juga pena indah yang disisip kertas kecil dengan nama pengirim A. Ferdinand.

"Zel, banyak banget hadiahnya," celetuk Mitha.

Hazel menoleh pada Mitha dan tersenyum sambil mengangkat bahu.

"Ternyata fans lo nggak berkurang sama sekali," imbuh Mitha. "Ah ..., gue iri."

Hazel mengerucutkan bibirnya. "Memangnya Niko aja nggak cukup?"

"Lebih dari cukup sih sebenarnya..." Mitha terkekeh kecil. "Eh, novel apa itu?" Mitha meraih novel di tangan Hazel. "Lo nggak bosan ya baca novel mulu?"

"Itu novel dari Dion Abian."

"Oh ..., cowok itu hobi baca juga? Atau doi beliin lo novel biar lo senang?"

Hazel menghela napas panjang. "Entahlah, gue kurang tau."

"Hmm ...." Mitha manggut-manggut. "Doi masih nggak nyerah ya ngejar lo."

"Itulah masalahnya. Gue gerah dikejar-kejar. Cape lari-lari terus."

Mitha tergelak kecil mendengar candaan Hazel.

Tepat saat itu bel masuk berbunyi dan Hazel segera menyimpan bingkisan-bingkisan itu.

Devan masuk ke dalam kelas. Saat lewat di depannya, cowok itu melempar senyum manis dan dada Hazel seketika berdebar indah. Ia membalas senyum Devan dengan senyum yang sama manisnya.

***

Evathink
Ig: Evathink

Hazel dan Devan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang