23

1.2K 149 8
                                    

23

"Zel, ke kantin, yuk," ajak Mitha.

Hazel menggeleng. "Nanti pas jam istirahat kedua aja, aku bawa cake cokelat." Hazel mengeluarkan kotak makanan yang di dalamnya terdapat beberapa potongan cake. "Mau?" tawar Hazel pada Mitha.

"Thanks." Mitha mengambil sepotong. "Gue ke kantin ya, ada janji sama Niko."

Hazel tersenyum tipis melihat wajah merona sahabatnya. Ia mengangguk pelan dan Mitha pun berlalu.

Hazel memperhatikan seisi kelas yang mulai menyepi dan senang bukan main saat melihat Devan masih duduk di bangkunya.

Hazel membawa kotak makanannya dan berjalan ke meja Devan.

"Hai," sapa Hazel.

Devan yang tampak sedang merapikan buku di atas meja, mengangkat wajah dan seketika senyum tipis menghias wajah tampannya.

"Hai," balas Devan.

"Mau cake?" Hazel menyodorkan kotak makanannya ke Devan.

Tanpa melihat isinya, Devan menjawab : "Mau."

Hazel tersenyum senang.

"Ayo, duduk di sini, Zel," Devan menunjuk bangku kosong di sampingnya.

Hazel mengangguk riang, lalu segera duduk di bangku yang biasa Ucup duduki.

"Ini cake cokelat, ya?" tanya Devan saat melihat isi kotak makanan tersebut.

Hazel mengangguk. Tiba-tiba ia teringat kejadian Tania membawa cake cokelat pada Devan yang ditolak cowok itu.

"Aku lupa kalau kamu nggak suka cake cokelat," ujar Hazel kecewa pada diri sendiri. Tadi pagi saat buru-buru ke sekolah, ia membawa cake tesebut dengan niat akan memakannya bersama Devan. Ketergesaannya membuat ia lupa kalau Devan tidak suka cake cokelat seperti yang cowok itu katakan pada Tania beberapa waktu lalu.

"Kata siapa?"

"Waktu itu sama Tania ...."

Devan tertawa kecil. "Oh, waktu itu aku bohong." Devan meraih cake tersebut dan mengulurkannya pada Hazel.

Hazel menerima cake dari Devan dengan terharu. Perlakuan kecil seperti ini dari cowok itu terasa sangat manis.

Kemudian Devan mengambil cake untuk diri sendiri dan memakannya.

"Kenapa?" tanya Hazel ingin tahu. Ia memakan cake-nya sambil menatap Devan.

Devan menoleh dan mata mereka pun beradu. Debar halus menabuh dada Hazel.

"Karena aku nggak mau ngasi dia harapan palsu, bahkan seujung jarum."

Hazel mengangguk-angguk mengerti. Tentu saja mereka berdua—bahkan mungkin seluruh kelas XI—tahu kalau Tania menyukai Devan. "Tapi kamu makan cake pemberianku, kamu nggak takut ngasi aku harapan palsu?" tanya Hazel ingin tahu.

Devan tertawa pelan. Ia memandang wajah Hazel dengan tatapan lembut. "Aku nggak berniat ngasi kamu harapan palsu, Hazel."

Hazel memandang iris cokelat kemasan yang menatap lekat padanya itu. "M-maksud kamu?" Jantung Hazel berdegup kencang. Apakah Devan ingin menyiratkan kalau ia menyukai Hazel?

"Maksud aku—"

"Devan!"

Hazel menggeram dalam hati oleh gangguan itu. Ia menoleh ke pintu dan melihat Tania berjalan ke arah mereka.

"Devan, gue nyari lo di kantin, kata cupu lo di kelas," kata Tania riang.

Namun sesaat kemudian keceriaan meninggalkan wajahnya.

"Devan ..., lo makan cake cokelat? Tapi waktu itu lo bilang ...."

Devan meringis.

"Dasar berengsek!" maki Tania, kemudian berbalik pergi meninggalkan kelas XI IPS 2.

Hazel memandang kepergian Tania dan berkomentar pelan, "dia suka kamu."

Devan menyugar frustrasi rambutnya. "Ya, aku tahu, karena itulah aku nggak mau ngasi dia harapan palsu."

"Kamu nggak suka dia ...."

Setengah pertanyaan, setengah pernyataan, dan Devan mengangguk membenarkan.

Senyum samar melengkung di bibir Hazel.

***

Minggu pagi itu Hazel mengenakan celana jins panjang berwarna biru muda dipadu dengan kaus lengan panjang berwarna senada. Ia dan Mitha duduk di antara penonton-penonton yang memenuhi gedung olahraga.

Pertandingan basket SMA Bintang Nusantara melawan SMA Harapan Bangsa berlangsung seru. Teriakan semangat para penonton dari kedua kubu membahana tanpa putus.

Tiga puluh menit setelah permainan berjalan, Hazel mengedarkan pandangan ke penonton-penonton yang ada di sekitarnya. Seketika ia mengerucutkan bibir. Tidak jauh di sebelah kirinya, tampak Dara menonton pertandingan dengan penuh semangat, sementara di sebelah kanannya, berjarak beberapa orang, terlihat Devan dengan Tania di sisinya—rupanya gadis itu tak lagi marah pada Devan, sementara Ucup dan Tata di sisi lain.

Riuh rendah sorakan penonton membuat Hazel kembali memandang lapangan. Rupanya tim Kevin kembali mencetak angka.

Pertandingan berjalan alot, belum bisa dipastikan tim mana yang akan menang, selisih skor sangatlah tipis, dan hal tersebut makin membuat para penonton deg-degan.

Namun tidak demikian dengan Hazel. Pikirannya saat ini sepenuhnya terfokus pada sisi kanan tempat duduknya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Tania terus-menerus berusaha melakukan kontak fisik dengan Devan seperti menyentuh lengan cowok itu. Meski Devan sudah berkali-kali menepis dengan sopan sentuhan itu, tapi Tania jelas tak tahu malu. Cewek itu tampak sama sekali tidak mengacuhkan penolakan Devan, dan Hazel sebal melihat itu. Sangat sebal. Ingin Hazel mendatangi cewek itu dan menjauhkannya dari Devan, tapi tentu saja ia tak bisa melakukan hal tersebut. Ia bukan pacar Devan, dan pastinya akan terjadi kehebohan jika sampai ia melakukan itu.

Akhirnya, Hazel terpaksa memendam rasa kesal itu dengan sangat merana.

***

Evathink
Ig : evathink

Hazel dan Devan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang