13
Berbeda dengan pagi Jumat pekan lalu, pagi ini Hazel sedikit telat datang ke sekolah karena Pak Supri datang terlambat.
Saat Hazel tiba di sekolah, suasana sudah ramai. Di mading sekolah—tepatnya di bagian cerber D. A. Ferdinand—sudah ramai murid cewek berkerumun. Hazel yang tahu akan percuma jika ikut berdiri di sana dan mengantre untuk membaca sementara bel masuk pasti akan berbunyi tidak lama lagi, akhirnya memilih langsung ke kelas. Nanti di jam istirahat pertama ia akan membaca cerber Caramu Mencintaiku, itu.
Tepat di muka pintu kelas, seorang cowok tampan mengadang langkah Hazel.
"Hazel ...." sapa cowok itu dengan senyum semenawan mungkin.
Hazel membalas senyum cowok itu. "Hai, Dion."
"Kenapa nggak pernah balas WA-ku?"
Hazel tersenyum kikuk. Jawaban apa yang bisa ia beri? Bahwa ia tidak membalas WA—Whatsapp—cowok itu karena ia tidak mau memberi harapan palsu? Niat Dion Abian padanya terbaca sangat jelas. "Oh, aku jarang liat WA," Hazel beralasan.
"Yeah ..., padahal aku senang kalo kita bisa chatting tiap saat."
"Berhenti ngehayal bisa dekatin cewek gue, Bro!" tegur Kevin yang entah dari mana muncul di sisi Hazel.
Hazel berbalik dan melihat wajah sangar Kevin yang memandang Dion Abian seolah ingin menelannya.
Wajah Dion menegang. "Aku—"
"Pergilah!" Kevin mendorong kasar bahu Dion. "Ingat, jangan coba-coba dekatin Hazel lagi atau gue nggak akan tinggal diam. Ngerti??"
Dion mengangguk kaku. Setelah melirik Hazel sekilas, cowok itu berbalik dan pergi.
"Kevin, jangan kasar gitu, ah," tegur Hazel tidak nyaman.
"Oh, jadi kamu belain dia, Zel? Kamu suka ya sama dia??" tanya Kevin marah.
Hazel meringis dan menggeleng. "Ya nggaklah. Aku cuma nggak mau kamu sama dia berantem."
Kevin mendengkus, amarahnya tampak belum memudar.
"Ya udah, balik sana ke kelas kamu, bentar lagi masuk," kata Hazel.
"Nanti jam istirahat kita ketemu di kantin Kak Tin."
Hazel mengangguk mengiyakan. Kemudian Kevin berbalik dan pergi.
Hazel masuk ke dalam kelas dengan suasana hati yang sudah berubah. Awan mendung seakan bergelayut di atas kepalanya. Sesungguhnya Hazel tidak nyaman dengan temperamen dan sikap posesif Kevin, tapi setiap kali ia mengeluh tentang hal tersebut, Kevin justru semakin marah.
Hazel melangkah menuju mejanya, sepenuhnya sudah lupa tentang cerber karya D. A. ferdinand.
Ketika tiba di mejanya, Hazel terkejut. Di atas meja, tampak sebuah amplop cokelat besar yang dilukis gambar hati dengan tulisan berwarna merah, dan tertera untuk Hazel.
Hazel mengerut kening. Ia duduk di kursinya kemudian meraih amplop tersebut.
"Dari siapa, Mith?" tanya Hazel pada Mitha.
"Nggak tau," Mitha mengangkat bahu. "Pas gue datang, tuh amplop gede udah ada di situ."
Hazel membuka amplop tersebut dengan rasa penasaran tinggi. Betapa terkejut dirinya saat melihat belasan, atau mungkin puluhan lembar kertas ukuran A4.
Kertas paling depan tertulis;
Caramu Mencintaiku.
D. A. Ferdinand.
Hazel ingin berteriak gembira. Bagaimana mungkin salinan cerber itu ada di mejanya? Siapa yang meletaknya? Dan bagaimana dia tahu kalau Hazel menginginkan salinannya?
Dengan antusias ia membuka kertas yang dijepit dengan rapi itu, hingga ke halaman terakhir. Mata Hazel melebar melihat lima halaman bagian hari ini.
Senyum lebar menghias wajah Hazel. Kemuramannya karena kejadian di pintu kelas tadi terlupakan begitu saja.
"Apaan, Zel? Kok senyam-senyum sendiri?" tanya Mitha penasaran.
Hazel dengan bahagia menunjukkan cerber tersebut pada sahabatnya.
"Cerber Caramu Mencintaiku?" gumam Mitha tak percaya saat membaca isi kertas A4 tersebut.
"Yes. Bener!"
"Kok bisa? Dapat dari mana?"
Hazel mengangkat bahu. Di dalam hati ia bertanya-tanya siapa gerangan yang memberinya salinan cerber kesukaannya itu. Mungkinkah si penulis itu sendiri? D. A. Ferdinand? Tapi siapa D. A. ferdinand, itu? Anak kelas berapa? Dan bagaimana dia bisa tahu kalau Hazel menyukai cerber itu dan menginginkan salinannya? Apakah anak-anak pengelola mading yang memberitahu si penulis?
Hhh .... Ingin Hazel mendatangi anak-anak pengelola mading dan menanyai mereka, tapi Hazel tahu, percuma. Mereka tidak akan memberinya informasi yang ia inginkan.
Tepat saat itu bel tanda masuk berdering nyaring.
Seketika kelas menjadi heboh. Murid-murid kembali ke bangku masing-masing. Tak lama kemudian, derap langkah sepatu berhak, bergema. Kelas XI IPS 2 memang tidak jauh dari ruang majelis guru, karena itulah tak lama setelah bel berdering, guru akan segera muncul di kelas mereka.
Bu Rita masuk dan menyapa seisi kelas dengan senyum ceria.
Mata Hazel seketika mencari sosok yang akhir-akhir ini diam-diam selalu mengisi benaknya.
Tidak ada.
Meja tepat di seberangnya itu kosong. Hanya tampak Ucup dan teman-teman yang lainnya.
"Devan tidak datang?" bisik Hazel pada Mitha.
Mitha menatap Hazel heran kemudian mengangkat bahu. "Nggak tau. Lagian tumben lo merhatiin dia?"
Hazel tersenyum kaku dengan wajah merona.
Bu Rita mengabsen muridnya satu demi satu. Tepat saat nama Devan Arlando, Bu Mitha mengulangnya sebanyak dua kali.
"Devan mana?" tanya Bu Rita dengan nada sedikit tinggi.
"Tadi ada, Bu, nggak tahu sekarang di mana," jawab salah satu murid.
"Oh, ternyata dia sudah nggak mau masuk pelajaran saya!" kata Bu Rita jengkel dan sengit.
Hanya terdengar suara bisikan-bisikan samar, dan Bu Rita kembali melanjutkan absensi.
Selain bertanya-tanya ke mana perginya Devan, Hazel diam-diam juga merasa cemas. Bu Rita jelas sangat marah pada Devan, dan Hazel tidak tahu apa yang akan terjadi pada nilai cowok itu nanti.
***
Evathink
Ig : evathink
5 jul 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazel dan Devan (Tamat)
Teen FictionPart lengkap! FOLLOW UNTUK MEMBACA!! Hazel dan Devan Awalnya Hazel Keinatta hanya memandang Devan Arlando sebelah mata. Meski cowok itu cukup populer di kalangan cewek-cewek di sekolahnya, bagi Hazel, Devan sama sekali tidak istimewa. Akan tetapi wa...