9
"Tadi itu lucu banget," kata Mitha sambil menyuap lontong sayur ke mulut.
Mitha dan Hazel sedang berada di kantin tidak jauh dari kelas mereka. Di sekolah mereka terdapat beberapa kantin yang tersebar di beberapa tempat.
Hazel yang sedang makan mieso, tidak berkomentar. Ia tahu yang dimaksud Mitha adalah kejadian saat pelajaran bahasa Indonesia tadi.
Hazel tersenyum samar ketika teringat bagaimana konyolnya jawaban Devan.
Seisi kelas tadi tertawa oleh tingkah cowok itu, sementara Bu Rita terbakar amarah. Hazel sendiri tidak tertawa waktu itu—meski saat ini setelah mengingat kembali, ia tersenyum. Ia justru sibuk berpikir mengapa Devan menjawab soal dengan tidak serius.
Setelah Hazel perhatikan, Devan sebenarnya tidak bodoh, dan bukan anak nakal pula. Cowok itu tidak pernah macam-macam di mata pelajaran lain.
"Kok bisa si Devan sebodoh itu, ya?" gumam Mitha.
Tanpa sadar Hazel menatap tajam sahabatnya, yang saat itu sedang sibuk makan dan tidak memandang ke arahnya.
Sebenarnya bukan salah Mitha. Kesan yang ditangkap seluruh isi kelas atas jawaban Devan memang terkesan cowok itu bodoh. Akan tetapi Hazel yakin cowok itu tidak bodoh.
"Devan nggak bodoh," kata Hazel tanpa dapat mencegah lidahnya mengucapkan kalimat pembelaan itu.
Mitha melirik Hazel dengan kening berkerut.
Hazel balas melirik sahabatnya, kemudian berhenti makan dan meminum air mineral untuk memberi jeda.
"Gue perhatiin, dia cerdas di mata pelajaran lain," kata Hazel dengan nada sedatar mungkin.
"Eh? Sejak kapan lo suka merhatiin dia?" Mitha terkejut.
Hazel melirik sahabatnya kesal. "Udah ah, nggak usah dibahas." Hazel melanjutkan makannya, mengabaikan kenyataan bahwa Mitha masih memandang dirinya dengan tatapan heran.
***
Devan dan Ucup menikmati jam istirahat pertama dengan makan goreng pisang di dalam kelas yang nyaris kosong.
Hanya ada sejoli berpacaran di sudut kelas, Ucup dan Devan di sudut lain, dan Tata, si kutu buku, di mejanya yang terletak tidak jauh dari meja guru.
"Dev, kalo gue yang nggak bisa jawab soal tadi, itu hal wajar," kata Ucup. "Lha ..., lo? Rasanya gue nggak bisa percaya."
Devan melirik malas ke Ucup sambil mengunyah goreng pisang. Ia mengangkat bahu tanpa berusaha menjawab.
"Devan ...."
Keduanya terkejut mendengar sapaan ragu-ragu itu.
"Tata? Ada apa?" tanya Ucup meski yang tadi disapa Tata bukanlah dirinya.
"Aku nyari Devan," kata Tata pelan. Ia membetulkan letak kaca mata tebalnya yang sedikit melorot.
Devan memandang teman sekelasnya itu dengan kening berkerut. Rambut Tata dikuncir ekor kuda, kaca mata tebal dengan setia bertengger di atas hidung, dan saat ini cewek itu sedang memeluk buku di dadanya. "Ada apa, Ta?"
Semburat merah mewarnai pipi Tata yang polos tanpa bedak. "Aku—sebenarnya aku ingin ngebantu kamu memahami pelajaran bahasa Indonesia yang tadi diajarkan oleh Bu Rita."
"Oh, itu ...." Devan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Makasih, Ta. Tapi lain kali aja, ya," kata Devan sambil tersenyum tipis, yang justru terlihat seperti meringis.
Kekecewaan terpampang jelas di wajah Tata. Namun begitu ia tetap mengangguk.
"Devan!"
Devan, Ucup dan Tata sontak memandang ke arah sumber suara.
Tania melangkah masuk dengan wajah dihiasi senyum yang tampak dibuat manis semanis-manisnya.
Melihat kehadiran Tania, Tata mengundurkan diri secara diam-diam. Wajahnya seketika berselimut awan mendung.
"Ada apa, Tan?" tanya Ucup.
"Tan, Tan, emang gue tante lo?!" bentak Tania marah.
Ucup meringis.
Melihat itu, diam-diam Devan mengulum senyum.
"Devan," panggil Tania lembut dan mesra. Nada suaranya telah berubah saat berpaling pada Devan. "Gue bawain lo cake cokelat," kata Tania sambil menyodorkan sebuah kotak berbentuk persegi.
"Makasih, Tania, tapi gue nggak suka cake coke—"
"Makasih, Tania. Lo baik banget," kata Ucup memotong kalimat Devan sambil meraih kotak tersebut dari tangan Tania.
Tania melotot menatap Ucup. "Ucup! Itu bukan buat lo. Itu buat Devan!"
Ucup menyeringai sambil membuka kotak tersebut lalu meraih potongan cake cokelat yang tampak sangat lezat.
"Ah, kan sama aja, Sayang," kata Ucup cuek.
Muka Tania berubah-ubah warna, sebentar pucat, kemudian merah padam.
Suara tawa kecil terdengar memasuki kelas. Devan melirik ke pintu dan melihat Mitha dan Hazel melangkah masuk ke dalam kelas. Meski ada Tania yang menghalanginya untuk bebas memandang Hazel, tapi Devan bisa rasakan Hazel sedang menatap ke arahnya.
Dengan bibir terkatup rapat, Tania meraih kotak tersebut dari tangan Ucup. Lalu setelah mengubah raut wajah menjadi semanis mungkin, ia menyodorkan kotak berisi cake tersebut pada Devan.
"Devan, ayo cobain. Cake ini enak sekali lho..."
Devan menggeleng samar. "Gue nggak suka cake cokelat, Tania." Sebenarnya Devan bukan tidak suka, ia hanya tidak mau memberi harapan palsu pada Tania. Ia takut jika ia menerima pemberian cewek itu, Tania akan berpikir ia menyambut pendekatannya.
Bibir Tania mengerucut dengan gaya manja. "Kalo gitu, lo suka cake rasa apa?" tanya Tania.
Hazel berjalan menuju tempat duduknya. Raut wajah cantik itu dingin tak terbaca dengan mata yang melirik tajam ke arah Devan dan Tania.
Seketika rasa was-was menyelimuti Devan. Jangan sampai Hazel berpikir ia menyukai Tania.
"Gue—"
"Cupu!"
Teriakan gemas Tania memutus kalimat Devan yang belum selesai.
Rupanya Ucup merampas kotak makanan tersebut dari tangan Tania lalu dengan wajah tak berdosa mencomot isinya.
Tania mengentak kaki kesal, lalu dengan geram meninggalkan kelas—dan Devan sama sekali tidak peduli. Tatapannya hanya terfokus pada Hazel yang kini tampak sudah duduk di tempatnya.
Seperti tahu tatapan Devan masih terhunus padanya, cewek itu mengangkat wajah dan mata mereka berdua pun beradu.
Seketika Devan merasa seisi kelas lenyap tak berbakas. Hanya ada dirinya dan Hazel saat ini.
"Cake cokelatnya enak sekali, Dev. Lo yakin nggak mau?"
Suara jelek Ucup membuyarkan hipnotis itu.
Devan melirik kesal pada Ucup yang memakan cake tersebut hampir ludes. Devan sama sekali tak peduli tentang cake itu, yang ia kesalkan adalah gangguan Ucup pada kontak matanya dengan Hazel.
Saat Devan kembali memandang Hazel, gadis itu sudah berpaling dan sedang mengobrol dengan Mitha.
Devan mengatupkan rahang rapat-rapat menahan kesal.
***
Evathink
IG : evathink
31 mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazel dan Devan (Tamat)
Teen FictionPart lengkap! FOLLOW UNTUK MEMBACA!! Hazel dan Devan Awalnya Hazel Keinatta hanya memandang Devan Arlando sebelah mata. Meski cowok itu cukup populer di kalangan cewek-cewek di sekolahnya, bagi Hazel, Devan sama sekali tidak istimewa. Akan tetapi wa...