26 | Sekolah

24 6 0
                                    

Setelah beberapa kali Bintang memohon kepada bunda untuk meminta pulang, akhirnya bunda menuruti keinginan Bintang begitu hasil laboratorium keluar. Namun dengan catatan, jika Bintang harus kontrol setiap seminggu sekali. Dan jika merasakan sakit, Bintang harus berkata yang sejujurnya. Tentu saja Bintang langsung meng-iyakan persyaratan itu.

Disinilah Bintang sekarang, berada di dalam kamar nya yang begitu dirindukannya. Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali berada di rumahnya. 

"Bintang, inget ya kalau kamu ngerasa kurang sehat, langsung bilang ke bunda. Obat nya juga jangan lupa di minum." 

"Iyaa bundaa. Bintang gak akan lupa kok." 

"Malem ini, Bintang mau makan apa? Biar bunda siapin."

"Apa aja deh bun, yang penting bunda yang bikin, pasti Bintang makan."

"Bisa aja kamu" kekeh bunda. "Yaudah, kamu istirahat dulu gih. Nanti bunda panggil kalau makanannya udah siap."

Bintang menganggukkan kepalanya, kemudian tersenyum sangat tulus "Makasih bunda." 

Yang di balas dengan mengelus pelan rambut Bintang, kemudian bunda pamit keluar--untuk meyiapkan makam malam. 

Begitu bunda keluar, Bintang langsung menjatuhkan badannya ke atas ranjang miliknya. Mata nya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya. Bintang menarik napasnya perlahan. Bintang rasa, semua ini terlalu mendadak untuk dirinya. Dirinya sama sekali tidak siap untuk memiliki penyakit mematikan ini.

Sejak mengetahui dirinya menderita penyakit ini, Bintang bahkan bertanya-tanya mengapa harus dia? Shock? Tentu. Orang mana yang tidak akan terkejut, jika dirinya di vonis memiliki salah satu penyakit yang mematikan. Ia bahkan bertanya-tanya, apa yang ia lakukan sampai Tuhan tega memberinya penyakit mematikan ini? Bintang bahkan tidak tau harus menyalahkan siapa. Apakah harus menyalahkan Tuhan nya? Atau menyalahkan dirinya sendiri? Bintang benar-benar putus asa, kalau boleh jujur, ia sangat takut. 

 Kalau bisa berterus terang, Bintang sangat sedih, kecewa, ia begitu marah pada dirinya sendiri. Rasanya Bintang ingin menangis begitu saja, mengeluarkan seluruh rasa sakitnya. Tapi, Bintang tidak bisa. Bintang harus kuat, terutama di hadapan bunda. Bintang tidak mau membuat bunda sedih. 

 Walaupun dokter bilang, Bintang masih bisa sembuh, jika ia bersedia melakukan kemoterapi. Tapi tentu saja, itu tidak akan menjamin kesembuhannya. Bahkan dalam beberapa media yang sempat Bintang baca, banyak orang yang gagal di tengah jalan. Bintang tersenyum miris, ia mengasihani dirinya sendiri. Ia tidak tau sampai kapan penyakit ini akan berada di dalam tubuhnya. Ia tidak tau, siapa yang akan di kalahkan, apakah penyakit nya atau dirinya sendiri.

***

Pagi ini Bintang berangkat di antar dengan sopir nya, walaupun awal nya Bintang menolak untuk di antar jemput. Namun karena bunda mengancam Bintang, kalau tidak menurut akan kembali di bawa ke rumah sakit. Maka mau tidak mau, Bintang mengikuti permintaan bundanya. 

Semenjak kakinya menginjak koridor sekolah, Bintang merasa banyak sekali orang yang memerhatikannya, entahlah mungkin mereka hanya penasaran--secara Bintang adalah salah satu most wanted yang berada di sekolah, dan dalam beberapa hari terakhir, dirinya sama sekali tidak terlihat di sekolah. 

Bintang hanya membalas beberapa sapaan yang di berikan kepadanya dengan senyuman yang tipis. 

"Bintangg!" Bulan berteriak ketika dia melihat sosok Bintang yang berada di koridor. Bintang membalikkan badannya, dan tersenyum ketika matanya melihat sosok Bulan yang sedang berlari ke arah nya. 

"Kok lo udah sekolah sih?"

"Takut lo kangen, kan berabe jadinya, hehehe." ledek Bintang.

"Gue serius Bintangg!" 

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang