"Ra, makan dulu ya?." Ujar Fiony saat jam sudah menunjukan pukul 4 sore, terlebih lagi Ara tidak menghabiskan sarapannya pagi tadi.
"Ngga nafsu." Sahut Ara bergumam.
"Aish. Aku udah bilangkan itu bukan akhir dari semuanya. Baru tau chika punya pacar aja kamu udah kaya gini, apalagi kalau kamu ngga bisa dapetin dia dititik terakhir? Apa kamu akan menyiksa dirimu sendiri!?."
Ara terdiam, baru pertama kali dia melihat Fiony emosi.
"Untuk terakhir kalinya aku bertanya padamu ara. Mau makan atau ngga?."
"......."
Fiony menghela nafas kasar usai melihat Ara menggeleng pelan. "Baiklah, sepertinya aku harus membawa chika kesini, karena hanya dia yang bisa membujukmu untuk makan."
"Jangan bawa bawa chika bisa ngga!?." Umpat Ara menekan suaranya.
"Oh? Maaf sudah membawa nama cintamu. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan, tapi kesehatan kamu itu yang terpenting ara! Bahkan kamu sudah melakukan kesalahan dengan mengabaikan kesehatan diri sendiri."
"Kamu bisa ngerti perasaan aku ngga sih!? Oh, tentu saja kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan. Karena kamu tidak pernah merasakan patah hati."
"Jangan pernah menganggap dirimu yang paling menderita ara! Darimana kau tau aku tidak pernah patah hati!? Apa hanya karena kamu tidak pernah melihatku patah hati!? Katakan padaku ara."
"Ya, kamu memang tidak pernah patah hati fiony. Aku, dan mira tau betul dirimu secara detail."
"Ara aku paling tidak suka orang yang sok tau keadaan orang lain! Aku pernah sakit hati! Bahkan mungkin sebanding dengan apa yang kamu rasakan saat ini! Tapi aku memilih untuk diam, dan tidak menceritakannya padamu, maupun mira."
"Sesakit apa patah hati yang pernah kamu alami!? Sampai kamu mengatakan sakit yang aku rasakan saat ini, sebanding dengan mu!."
"Itu tidak penting bagimu." Acuh Fiony membuang muka dengan suara yang bergetar.
"Lihat, bahkan kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku. Aku tau kamu hanya mengadi ngadi cerita fiony."
"Ara kamu sudah melewati batas! Aku selalu patah hati ara! Setiap malam aku mendengarm-.. Mendengar orang yang aku cintai menceritakan pujaan hatinya. Pagi sampai sore aku selalu melihat mereka berduaan!. Bahkan aku ikut serta dalam membantu mereka berbaikan saat ada badai diantara keduanya!. Ya! Aku mendukung cintaku untuk mendapatkan tempat pertama dihati orang yang dia cintai!. Apa sekarang kamu masih menganggap ceritaku ini hanya omong kosong!? Jawab aku ara!." Tangis Fiony pecah, bisa bisanya Ara menganggap dia hanya mengadi ngadi cerita.
"......." Ara terdiam, dia ikut menangis. Hatinya semakin sakit saat melihat Sahabatnya menangis, terutama itu hanya karena dirinya.
"Fiony.. Maafin aku.." Ucap Ara beranjak tuk memeluk Fiony. Namun Fiony langsung membalikkan tubuhnya, dan berjalan keluar kamar Ara.
Alhasil Ara pun terdiam, dia berjalan ke tepi kasurnya, dan duduk disana. Sahabat macam apa dirinya? Ah tidak, apa dia masih layak disebut sebagai seorang sahabat?.
"Ara kamu apakan fiony?? Eh?." Mira terdiam saat melihat Ara menoleh padanya dengan wajah yang sudah dibanjiri air mata. Apa yang terjadi pada kedua sahabatnya? Apa mereka sudah sepakat tuk menangis tanpa dirinya? Ah tidak bodoh! Pikiran macam apa itu.
"Kalian kenapa sih?." Tanya Mira khawatir sembari mendekati Ara, dan duduk disampingnya. Ia mendekap Ara ke dalam pelukannya, lalu mengusap pelan punggung sahabatnya.
"Aku sudah membuat fiony menangis hanya karena emosiku, mira.. Hiks.. Sahabat macam apa aku?." Ucap Ara memelankan suaranya.
"Sshtt.. Sudah sudah, jangan menangis. Kamu taukan fiony tidak bisa marah lama lama? Bahkan kita jarang melihatnya marah."