Chapter 4: Envy

1.9K 303 15
                                    

"Sial, padahal sudah ku doa'kan agar dia terlambat."

Naruto memberi tatapan bengis pada Hinata yang baru saja memasuki loby, gadis itu berjalan dengan tegap sembari menyapa beberapa karyawan senior yang berpapasan dengannya. Perempatan siku muncul di kening Naruto ketika menyadari betapa berbeda perlakuan Hinata pada dirinya dan orang lain.

"Oh, kau karyawan baru?"

"Karyawan barunya cantik, ya?"

"Hei, karyawan baru. Kalau kau kesulitan, datang saja ke mejaku."

"Ah, selamat pagi, senior."

Naruto menutup mulut, bersiap muntah seandainya Hinata kembali tersenyum saat mengucapkan 'selamat pagi' pada para senior pria yang jelas-jelas sedang menggodanya. Bukannya cemburu atau iri karena tidak mendapat senyuman gadis itu. Hanya saja, mendapat perlakuan berbeda dari orang yang sama itu sangat menjengkelkan.

Ia yang notabenenya adalah seorang roommate-nya, bahkan selalu diabaikan. Jadi, bagaimana bisa senior-senior itu mendapat sapaan ramah?

Satu embusan napas panjang ia keluarkan seiring tangannya yang mengibas di depan wajah. "Memuakkan, tidak ada gunanya juga marah seperti ini."

Lagi pula, ia memang tidak menyukai kehadiran gadis itu sejak awal.

•••

Hinata meletakkan satu cup kopi espresso di atas meja Sakura, jam makan siang yang hanya berlangsung selama 30 menit membuat mereka berdua tidak leluasa untuk pergi ke luar kantor, mereka juga belum cukup terbiasa dengan makanan kantin. Oleh karena itu berada di meja kerja hingga jam kantor usai adalah pilihan terbaik.

"Seharusnya bawakan air mineral, kau tahu aku tidak suka kopi."

Hinata tertawa pelan. "Ya sudah, untukku saja." Ia mengambil kembali gelas cup berukuran sedang tersebut dan meletakkannya di mejanya. "Kopi membuatmu tidak mengantuk saat bekerja."

"Aku memiliki penyakit lambung, bodoh."

"Itu salahmu karena sering telat makan, jangan mengomel padaku, Saki."

Entah karena keberuntungan atau apapun itu, letak meja keduanya berdekatan. Hal itu memudahkan Hinata dan Sakura untuk berbincang, sebab mereka tidak perlu menghampiri meja masing-masing hanya untuk sekadar berbicara.

Gadis berambut merah muda itu menyandarkan punggungnya yang terasa pegal pada kursi, kemudian melirik sekumpulan karyawan yang menatap kearahnya sembari tersenyum manis. Tidak, lebih tepatnya ke arah Hinata dan dirinya.

"Hei, Hinata. Bagaimana rasanya jadi pusat perhatian seperti sekarang?" godanya, ia menunjuk segerombolan karyawan pria dengan dagunya yang lancip. "Ini hari pertama kita bekerja, dan penggemarmu sudah sebanyak ini."

"Omong kosong, mereka juga penggemarmu. Lagi pula, aku sudah terbiasa sejak SMA," ucapnya, ia bertopang dagu sebelum meminum cairan bernama espresso miliknya. "Memiliki wajah cantik memang merepotkan, ya."

Sakura terkikik geli. Meski ucapan itu terdengar seolah Hinata sedang menyombongkan diri, ia tahu jika sahabatnya itu hanya berusaha membuat candaan.

"Aku sudah memiliki kekasih, jangan berpikir aku akan menerima pria lain."

"Jika aku terlahir sebagai seorang pria, aku akan menikahimu, Hinata."

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang