"Pokoknya jangan merindukanku, ya."
"Rindu apanya, sialan."
Naruto mengacak rambut biru Hinata hingga berantakan, kemudian tergelak keras saat roommate-nya itu mencak-mencak dengan belasan bahasa hewan. Oh, apa ia sudah mengatakan jika Hinata adalah perempuan paling menggemaskan di dunia?
"Katamu pergi sampai besok lusa, tapi kenapa tidak membawa pakaian?" tanyanya, sedikit merasa aneh sebab Naruto tidak membawa satupun pakaian.
Sedangkan pria yang memakai kaus oblong berwarna hitam di sana mengangkat bahu, masih ada banyak pakaian di rumahnya. Lagipula, ia bisa membeli ribuan baju di butik, membawa pakaian dari apartemen hanya akan membuatnya kerepotan.
"Penasaran sekali," ejeknya, lagi-lagi tergelak saat mendengar umpatan Hinata. "Ah, apa kau mau ikut denganku saja?"
Sebuah kernyit tipis muncul di kening Hinata. "Ha?"
"Akan aku kenalkan pada keluargaku sebagai calon is--aww! Iya iya! Bercanda!"
Tangannya berhenti mencubit perut pria itu saat Naruto kembali memohon untuk di lepaskan. Walau sebenarnya ia sangat ingin mencubit perutnya hingga Naruto menangis seperti bayi. "Aku tidak mau menjadi istrimu!"
Perempuan gila mana yang sudi menjadi istri dari pria tidak waras sepertinya?
"Hinata keparat! Aku hanya bercanda!" pekiknya tidak terima, perutnya terasa seolah robek akibat cubitan maut roommate-nya. "Aku juga tidak mau menjadi suamimu!"
"Kalau begitu jangan menggodaku, bajingan!"
"Sudah kubilang aku hanya bercanda, keparat. Kau tuli?!"
"Tentu karena kau terus-terusan berteriak!"
"Kau juga berteriak, sialan!"
"Naruto bajingan!"
"Hinata sialan!"
Mereka saling mengirimkan tatapan membunuh, menyipitkan mata agar lawan bicaranya terintimidasi, namun baik Naruto maupun Hinata tidak sedikitpun terintimidasi. Justru, keduanya berakhir mengembuskan napas, kembali dibuat sadar atas betapa konyolnya tingkah mereka diusia 20-an.
"Sudah jam 9, aku mau pergi. Segeralah tidur dan jangan begadang." Naruto berdiri dari duduknya sembari menggenggam kunci mobil. Waktu menunjukkan pukul 9 malam, ia harus segera pergi meskipun sangat ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Hinata.
"Jangan sok pedul--aduh!"
Tidak peduli pada Hinata yang kesakitan akibat sentilannya di dahi, Naruto kembali menghadiahi Hinata satu sentilan lagi ditempat yang sama. "Nanti kalau kau sakit dan mati disini, aku tidak mau membereskan mayatmu."
"Terima kasih atas rasa pedulimu!" ujarnya setengah berteriak, dahinya terasa berdenyut akibat perbuatan pria itu. Dan ketika ia melihat jari Naruto kembali mendekat ke dahinya, ia memejamkan mata, bersiap atas kemungkinan jika dahinya kembali disentil. "Hentikan, sak--"
--it."
Bukan, tidak ada rasa sakit sama sekali. Satu-satunya hal yang Hinata rasakan hanyalah kehangatan, usapan yang lembut, dan terdengarnya suara decakan Naruto.
"Iya, maaf. Yang penting jangan begadang, kalau kau sakit tidak akan ada yang merawatmu."
Kelopak mata Hinata terbuka. Satu hal yang pertama kali didapatinya adalah Naruto yang berdiri tepat di depannya untuk mengusap dahinya. Ia terpaku, tidak dapat memproses tatapan penuh kecemasan yang pria itu berikan.
"Masih sakit?"
Hinata menggeleng.
"Seharusnya katakan 'ya' agar aku bisa mencium dahimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...