Bak seorang pembalap profesional, Naruto mendahului belasan mobil yang menghadang laju kendaraannya. Rolls-Royce Boat Tail itu melaju dengan kecepatan penuh di jalanan, namun tetap menjaga agar tindakannya tidak membahayakan pengendara lain.
Naruto menarik persneling, kecepatan kendaraan bermotor itu kian bertambah hingga menyentuh angka 160 km/jam. Kedua tangannya tetap mencengkeram setir guna mempertahankan keamanan dirinya sendiri, Naruto bukan pria bodoh yang berlagak hanya agar terlihat keren, pria itu hanya memiliki satu nyawa dan tidak ingin mengakhirinya di masa muda.
"Jika kau mati, perusahaanmu jadi milikku."
Naruto memutar setir di tikungan, ban mobil belakangnya bergesekan di aspal hingga menimbulkan bunyi menyakitkan. Lalu lintas di depannya tidak terlihat sepadat maupun semacet tadi, ia yakin bila dirinya mampu sampai di tempat Hinata dalam waktu tujuh menit.
"Aku menghubungimu untuk mendengar perkembangan posisinya, jangan berbicara jika tidak penting." Ia membenarkan posisi airpods yang menyambungkan dirinya dengan Shikamaru, nyaris saja jarinya menekan tombol di sana untuk mematikan panggilan. "Akan aku matikan jika kau kembali mengoceh."
"Dengar, Naruto, aku mengkhawatirkanmu karena kau mengebut seperti orang gila di jalanan," ujarnya tegas, mata hitamnya menatap layar monitor yang menampilkan sepuluh rekaman kamera CCTV jalanan. Terdapat mobil atasannya yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, ia hanya cemas jika Naruto mengalami kecelakaan. "Jika kau mati karena kecelakaan, aku akan merekayasa surat wasiatmu."
Ini ancaman ke-5, Shikamaru terus-terusan mengancamnya seolah ia akan mati hari ini. Namun sungguh, tak bisakah pria itu diam saja agar fokusnya dalam berkendara tidak goyah?
"Hinata masih di sana?"
Shikamaru mengumpat lirih, Naruto tidak mendengarkannya. "Ya, dia masih di sana."
"Di depan tidak ada kemacetan?"
Manik hitamnya menatap monitor yang menampilkan lalu lintas sejauh 2 km di depan Naruto, jalanan terlihat lengang. "Tidak, kau bisa sampai di sana dalam tiga menit."
Naruto mematikan sambungan selulernya seraya melepas airpods. Tidak ada gunanya lagi tetap menghubungi Shikamaru di saat semua informasi penting telah ia dapatkan. Terlebih, Shikamaru pasti akan kukuh memberinya ancaman-ancaman lagi jika mereka tetap berhubungan.
"Dasar berisik," gumamnya, teringat betapa kejamnya ancaman Shikamaru jika ia sungguh mati. "Aku tidak akan mati, sialan."
Barangkali sahabatnya itu lupa, jika pada usia 17 tahun, ia adalah siswa berandalan yang memenangkan puluhan balapan liar.
•••
Hinata menyandarkan kepalanya pada sofa berwarna ungu tua, bibir yang dipoles lipstik tipis miliknya terbuka, namun tak ada satupun suara yang keluar. Sembari menatap seluruh penjuru ruangan yang disinari kerlip lampu, tangannya mencengkeram sebuah gelas kaca berisi alkohol dengan kadar tinggi, kemudian menelannya dalam sekali tegukan.
Cairan bening itu awalnya terasa pahit, namun entah mengapa dalam tegukan ke-sepuluh, lidahnya mulai dijalari rasa manis. Mungkin, inilah yang dinamakan kecanduan, sesuatu yang sudah lama tak dialaminya.
Hinata mengusap wajahnya yang tampak kacau, ia ingat betul jika terakhir kali dirinya meminum alkohol seperti orang gila adalah saat ibunya meninggal akibat ayahnya berselingkuh. Diusianya yang ke-dua puluh tahun saat itu, ia mabuk-mabukan hanya untuk lari sejenak dari kenyataan, seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
Kelab, seumur hidupnya ia pernah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya di tempat laknat seperti ini lagi. Namun, nyatanya takdir membawanya kembali kemari, menggodanya untuk merasai nikmatnya kehilangan akal akibat mabuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...