Naruto menenteng tas kerjanya seraya melangkahkan kaki menuju pintu keluar perusahaan. Beberapa karyawan lainnya juga berjalan disekitarnya, loby nyaris di penuhi oleh karyawan lantaran saat ini adalah jam pulang kerja.
"Sasuke sialan, kemana dia hari ini?" gumamnya lirih dengan kedua alis tertekuk, pertanda bila kejengkelan tengah memenuhi seisi jiwanya.
Sejak datang pagi tadi, ia langsung menuju ruangan Sasuke untuk memberinya ribuan umpatan. Sebagai sahabat yang baik, sudah sewajarnya bila ia menghadiahi Sasuke dengan ucapan selamat pagi seperti,
"Keparat."
Atau,
"Bajingan."
Namun, lagi-lagi Dewi Fortuna seolah berpihak pada pria berambut sehitam arang itu. Sasuke tidak ada di ruangannya sejak pagi, bahkan ketika ia mengeceknya berulang kali hingga asisten Sasuke menyumpahinya saat melihatnya keluyuran di jam kerja, pria itu tetap tidak ada.
Entah sebab apapun itu, namun ia tahu jika Sasuke sedang menghindarinya. Ketika ia mencoba meneleponnya, sahabatnya itu sama sekali tidak mengangkatnya meski telah tersambung. Dengan begini menjadi sangat jelas, Sasuke sungguh-sungguh sedang menghindar dari cercaan yang akan ia berikan.
"Apa dia masih meniduri perempuan hingga sore?" Ia menggeleng tidak percaya atas ucapannya sendiri. Meski Sasuke memang gila dalam urusan perempuan, ia tahu jika sahabatnya itu masih memiliki sedikit kewarasan. "Dasar keparat."
"Tidak boleh mengumpat, Naruto."
Naruto memutar kepala, suara Hinata tidak membuatnya terkejut kendati kehadirannya sangat mendadak. Namun, yang membuatnya terkejut adalah mengenai eksistensi gadis itu disini. Bukankah seharusnya Hinata sedang bersama kekasihnya sekarang?
"Kenapa kau disini?"
"Aku ingin pulang."
Naruto mengerutkan kening, jawaban itu sama sekali tidak membuatnya puas. "Kau tidak memiliki acara sepulang kerja? Seperti ... berkencan?" pancingnya, berharap Hinata akan berkata jujur walaupun hal itu tidak memberinya keuntungan sama sekali.
Gelengan kepala gadis itu membuat kerutan di kening Naruto semakin terlihat jelas, kebingungannya semakin menjadi-jadi ketika Hinata terang-terangan mengikutinya ke parkiran. "Kau pulang bersamaku lagi?"
"Tidak boleh? Pelit sekali."
"Bukan seperti itu, tapi—" Naruto menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, berdebat dengan Hinata seperti ini hanya akan berujung sia-sia. "Lupakan saja, ayo pulang."
Mobil berwarna hitam itu mulai bergerak meninggalkan parkiran, melintasi jalan raya yang sialnya terjebak kemacetan. Bunyi klakson yang memekakkan telinga terdengar dimana-mana, asap kendaraan pun terlihat memenuhi seisi jalanan.
Hinata membenturkan belakang kepalanya pada kursi lantaran bosan, namun pria di sampingnya malah menjitak kepalanya. Ia mengaduh pelan seraya mengelus dahinya, tangannya bergerak untuk mencubit lengan Naruto.
"H-hei, sakit, Hinata."
"Aku juga sakit, kau itu iseng sekali!"
Naruto pura-pura merajuk, lalu tertawa ringan. "Bagaimana caramu datang ke kantor pagi tadi? Kau meninggalkanku begitu saja," tanyanya pura-pura tak tahu, sudut matanya melirik Hinata yang mengulum bibir.
"Sudah kukatakan, aku berangkat bersama kekasihku. Aku sudah mengirimimu pesan, bukan?"
Hinata merintih lagi saat Naruto menjitak dahinya.
"Kau mengirimiku pesan setelah aku sampai di kantor, bodoh." Andai saja ia tidak melihat Hinata yang pergi bersama kekasihnya di supermarket tadi, ia pasti akan terlambat masuk kantor lantaran mencari gadis itu kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...