Chapter 23 : Invitation

1.4K 266 20
                                    

Naruto meletakkan dua plastik besar berisi barang belanjaannya di meja dapur, kemudian melenggang pergi menuju sofa di ruang tamu. Didapatinya Hinata duduk disana dengan mata terpejam, ia tertawa pelan. "Yang membawa belanjaan aku, yang menyetir juga aku, kenapa kau yang terlihat paling lelah?"

"Aku lelah menghadapimu, sialan."

Pria berambut pirang itu tergelak, televisi didepannya dihidupkan agar mereka memiliki sedikit hiburan. "Hei, lihatlah. Aku yakin kau akan puas," ujarnya ketika televisi itu menampilkan berita mengenai kehancuran Otsutsuki Toneri dan seorang model bernama Tataki. Ia melirik ke samping, Hinata telah membuka mata sesuai perintahnya. "Puas?"

Gadis itu tertawa pelan, berita mengenai kehancuran karir mereka telah dimulai sejak tempo hari--tepat setelah ia memposting aib keduanya. Namun seperti perkataan Naruto, berita seperti itu memang akan bertahan setidaknya selama seminggu kedepan. Dan ya, ternyata mengikuti saran Naruto adalah keputusan yang benar.

"Tentu saja, memang ini yang aku inginkan. Tapi ... bagaimana caramu mengusirnya kemarin?" Ia menekuk kakinya menjadi duduk bersila, kemudian menghadapkan tubuhnya ke arah Naruto. "Dia tidak mungkin langsung pergi hanya karena kau mengusirnya."

Naruto tidak mungkin mengatakan bahwa ia mengancam Toneri menggunakan jabatannya sebagai direktur Nami Corp. Namun, otaknya kehabisan akal untuk mencari alasan. "Rahasia," ucapnya, ia tertawa saat Hinata menghela napas. "Ah, Hinata, jika direktur mencoba mendekatimu, jangan pernah menerimanya. Dia adalah orang gila."

Satu kekhawatiran yang masih mendekam di benaknya adalah mengenai Sasuke. Dulu, Hinata mengatakan tidak tertarik kepada Sasuke karena sudah memiliki kekasih. Dan kini gadis itu sudah memutus hubungan dengan Toneri. Bagaimanapun, Hinata mungkin saja jatuh ke dalam pelukan Sasuke lewat seribu godaan yang Sasuke lakukan.

Naruto hanya tidak ingin roommate-nya bernasib buruk seperti para korban Sasuke. Terlebih-lebih, ia tidak mau melihat Hinata hanya menjadi barang sekali pakai, mengingat betapa bajingannya Sasuke terhadap perempuan.

Dan tentu saja, Naruto tidak mau membayangkan gadis yang ia sukai berada dibawah tubuh temannya.

"Kenapa berkata seperti itu? Tahu dari mana?" Hinata menantang, tidak masuk akal saja mendengar bagaimana roommate-nya menjelek-jelekkan Uchiha Sasuke--direktur mereka.

"Menurut saja, sialan. Aku mengatakan ini demi dirimu."

"Dia kaya, tampan, dan mapan. Kenapa aku tidak boleh menerimanya?" godanya lalu tertawa. Tapi, meskipun kesempurnaan Uchiha Sasuke menandingi seorang dewa, ia memang tidak tertarik pada pria itu.

"Sudah kubilang dia gila."

"Apa buktinya?"

"Kau tidak perlu tahu."

"Ya sudah, kalau begitu aku tidak mau mendengarkanmu."

"Menurut saja, dasar keras kepala."

"Kau cemburu?"

"Jika iya lalu kenapa?"

Hinata menatapnya skeptis, matanya melebar nyaris terlepas dari tempatnya. Jawaban pria itu sama sekali tidak ia sangka. Pertanyaannya tadi hanya berupa candaan, dan ia sangat berharap jawaban Naruto juga sebatas candaan. "Ha? Kau bercanda, 'kan?" tanyanya pada pria yang kini melangkah pergi, membelakanginya dengan sejuta perasaan tak terdefinisi.

Sedetik setelah pertanyaan itu terlontar, langkah Naruto terhenti. Bibirnya bergerak menyahut seiring kepalanya yang berputar. "Tentu, mana sudi aku mencemburui perempuan gila sepertimu," ujarnya sembari tertawa mengejek. Kemudian masuk ke dalam kamar, membiarkan gadis di sana tenggelam dalam pikirannya sendiri.

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang