Chapter 15: Suspicion

1.4K 258 31
                                    

Sakura menatap cemas pada sahabatnya yang tampak murung. Pasalnya, sejak gadis itu berangkat ke kantor tadi pagi, Hinata belum bersuara barang sepatah kata. Wajar saja bukan bila ia mencemaskannya? Terlebih, semenjak mereka diterima bekerja, ia belum pernah berbicara dengan Hinata di luar kantor. Jadwalnya padat, dan Hinata pun sama.

"Bertengkar dengan roommate-mu lagi?" tebaknya, ia menyangga dagunya yang lancip dengan telapak tangan.

Gadis yang terduduk di depan komputer dengan wajah masam itu menghela napas panjang. Seharusnya, ia bisa bersikap profesional dengan tidak membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. "Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak," jawabnya ambigu, Sakura mengangkat sebelah alis detik itu juga. "Aku memang bertengkar lagi dengannya. Ah, lupakan saja."

Hinata tahu, memberitahu mengenai permasalahannya dengan Naruto hingga merembet ke Toneri adalah hal yang buruk. Sakura bisa melabrak Toneri saat ini juga andaikan tahu mengenai kissmark di leher pria itu, atau mengenai perzinaan yang pria itu lakukan. Dan ia sama sekali tidak menginginkan tindakan gegabah seperti itu. Jadi, alangkah lebih baik jika ia menyembunyikan semua masalah ini hingga waktunya tiba-jika semuanya sudah terbukti dengan jelas dan ia bisa berdamai dengan hatinya sendiri.

"Kau tahu? Lama-lama kau dan Naruto seperti suami istri."

Ujaran konyol itu membuat Hinata mendengkus. "Maksudmu karena kami tinggal bersama? Oh ayolah, Sakura. Jika ada seekor kecoa di apartemenku, apa berarti kecoa itu suamiku hanya karena kami tinggal seatap?" ucapnya seraya menggelengkan kepala.

"Bukan itu, maksudku karena kalian sering bertengkar."

"Jadi Tom dan Jerry juga sepasang suami istri?" jengkelnya, Sakura itu sangat suka mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Hanya karena ia dan Naruto sering bertengkar saat tinggal bersama, bukan berarti mereka terlihat seperti pasangan suami istri. Lagi pula, siapa yang ingin menjadi istri dari pria kasar seperti Naruto? Bahkan, ia masih ingat dengan jelas bagaimana lengannya dicengkeram oleh pria itu pagi tadi.

Lupakan saja, menjadi pasangan hidup Naruto adalah ide buruk.

"Dia itu kasar, aku ... tidak suka pria kasar," ucapnya pelan, lalu meletakkan kepalanya di atas meja.

Sementara Sakura mengernyitkan dahi, merasa bingung atas tingkah melankolis sahabatnya. "Naruto yang terlihat seperti softboy itu, kasar? Aku meragukan validitas ceritamu, Hinata."

Hinata hanya bisa diam, tidak mau menjelaskan lebih lanjut ataupun bercerita mengenai lengannya yang terasa nyeri. Terlebih, tidak ada gunanya juga mengumbar masalahnya dengan Naruto mengenai betapa kasarnya pria itu.

"Kurasa Naruto tidak berangkat ke kantor," ujar Sakura seraya mengedarkan kepala. Biasanya ada rombongan staf perempuan yang mondar-mandir di jam istirahat untuk menemui Naruto, namun hari ini begitu sepi, ia yakin bila pria pirang itu tidak masuk kerja. "Roommate-mu baik-baik saja?"

"Persetan, Sakura. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Jika dia tidak masuk, maka itu urusannya, bukan urusanku." Ia berujar ketus.

Segala permasalahannya hari ini cukup melelahkan, ia tidak ingin membuatnya semakin melelahkan dengan memikirkan Naruto. Walau dirinya sendiri tidak dapat berbohong, ia sedikit khawatir pada pria itu.

'Seharusnya aku tidak menamparnya,' batinnya sedikit merasa bersalah.

"Oke, oke, sepertinya kau sedang datang bulan. Aku tidak akan mengganggumu lagi." Sakura menekuk wajahnya, Hinata benar-benar terasa berbeda hari ini. Apa ada sesuatu yang tidak gadis itu beritahu padanya?

•••••

Dengan langkah tegap, Naruto memasuki gedung perusahaan tanpa sedikitpun raut wajah ramah. Sepatu berwarna hitam dengan harga selangit miliknya menapak di lantai berwarna putih, menimbulkan suara derap langkah bak alunan lagu.

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang