Chapter 28 : Love

2.5K 320 49
                                    

"Aku hamil, Sasuke! Kau harus bertanggungjawab atau aku akan membongkar kebejatanmu!"

Itu adalah awal dari bagaimana terbunuhnya Saara. Jika saja saat itu Saara tidak mengancamnya dengan alasan kehamilan, terlebih ketika ia hendak memulai 'acara makan malamnya', ia tidak akan menyeret wanita itu ke halaman belakang dan menusuknya berulang-ulang menggunakan pisau.

Sasuke duduk dibelakang meja kerjanya dengan kondisi jari telunjuk yang patah. Selepas kepergian Naruto sepuluh menit lalu, ia memutuskan untuk duduk disana tanpa peduli akan rasa sakit di jarinya. Pecahan gelas kaca yang sebelumnya ia lempar pun masih berserakan di sekitar pintu, menyambut alas sepatu siapapun yang masuk ke ruangannya.

Pria itu mendesah pasrah atas bagaimana Tuhan menjungkirbalikkan kehidupannya hingga seperti ini. Segala keberuntungan yang ia dapatkan dari Dewi Fortuna atas kelakuannya sejak masa SMA pun tampaknya mulai menyusut. Terbukti dari satu-persatu masalah yang hinggap dikehidupannya, yang justru semakin kacau tanpa jalan keluar.

"Sialan," umpatnya pelan, lalu menghubungi asistennya. Ia harus pergi ke rumah sakit.

•••

[ Minggu, 07.10 ]

.

2 bulan berlalu tanpa huru-hara apapun, sampai-sampai Hinata merasa aneh karenanya. Baik ia maupun Sakura memang kerap berpapasan dengan direktur utama di perusahaan, namun pria bermarga Uchiha itu mengabaikan keberadaannya dan Sakura.

Bukan berarti ia berharap Uchiha Sasuke akan mengajaknya bicara ataupun menjelaskan perkara malam itu. Ia hanya menginginkan permintaan maaf, tapi sepertinya Uchiha Sasuke adalah pemilik harga diri selevel dewa. Dan ya ... selama pria itu tidak mengganggunya lagi, ia akan mencoba melupakannya.

Namun berkat kejadian malam itu, ia bisa menyadarkan Sakura atas obsesinya terhadap direktur. Dunia ini memang menakjubkan, selalu menyimpan rahasia yang tidak pernah disangka-sangka. Termasuk bagaimana bejatnya sikap Uchiha Sasuke yang pernah ia sanjung atas kesempurnaannya.

Ah,

Naruto benar. Semua pria di dunia ini adalah seorang bajingan.

"Selamat pagi."

Sapaan lembut itu membuat sang gadis Hyuga menoleh dari kompor. Naruto datang dari arah belakangnya dan menengok Hinata yang sedang memasak omelet, kemudian tertawa mengejek seolah tidak percaya akan kemampuan roommate-nya dalam memasak.

"Kau bisa memasak?"

"Mengejekku?"

"Iya," katanya dengan nada santai sontak memicu perempatan siku di pelipis Hinata. "Yakin bisa memasak?"

Hinata mengecilkan api kompor, kemudian melipat omelet yang masih berada diatas teflon. "Kau senang sekali membuatku kesal, ya. Sudah kubilang aku bisa, sialan."

Naruto tergelak ketika mendengar Hinata melanjutkan acara mencak-mencaknya sembari menjaga agar omelet itu tidak gosong. Sebenarnya ia tidak meragukannya, hanya sedikit berjaga-jaga jika ia mati keracunan setelah mengonsumsi makanan buatannya. "Tolong buatkan satu untukku."

Hinata melirik sinis pria yang sedang meneguk air mineral di depan kulkas. "Tidak sudi."

"Jahat sekali. Hitung-hitung latihan menjadi istri yang baik, Hinata. Buat'kan, ya?"

"Aku tidak mau menjadi istrimu, keparat."

Naruto tertawa, Hinata terlalu sering menolak sesuatu yang tidak pernah ia tawarkan. "Yakin?" tanyanya. "Kupikir dua bulan ini kita menjadi lebih dekat. Tapi kau tetap kurang ajar, sialan "

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang