Pupil mata sewarna bulan itu bergetar, tangannya yang semula memegang sebuah foto kini terjatuh di kedua sisi tubuhnya--berguguran, bak daun kecoklatan di musim gugur.
Seluruh bulu kuduknya serempak meremang ketika mengingat hal yang ia lihat tiga detik lalu. Foto, sebuah foto laknat berisi pengkhianatan kekasihnya. Otsutsuki Toneri menggandeng seorang perempuan berambut panjang di loby hotel, tangan yang selalu membelainya dengan lembut ternyata ternodai tangan perempuan lain.
Hinata berjalan menuju ranjang dengan pandangan kosong, kakinya terasa kian lemas di setiap ia mengambil langkah. Hingga pada akhirnya keseimbangannya lenyap, ia terjatuh, terduduk di lantai dengan rambut terurai.
"Hanya editan, 'kan? Toneri tidak mungkin ... melakukannya," gumamnya, ia menyandarkan kepalanya di pinggiran ranjang.
Selaras dengan perkataan Naruto, ia mulai merasa ragu--bimbang atas kepercayaannya terhadap Toneri. Pria berambut pirang itu sudah memberinya bukti atas perselingkuhan Toneri, sebuah foto yang tak ingin ia lihat lagi. Namun setelah menguatkan hati, yang ia ragukan justru Naruto. Apa pria itu sungguh ingin menghancurkan hubungan asmaranya dengan mengedit foto kekasihnya?
Dizaman seperti sekarang, foto editan yang tampak asli sudah tersebar di mana-mana. Tidak sulit menciptakan hal seperti itu untuk memperkuat kebohongan, dan Naruto mungkin saja melakukannya agar Toneri semakin mudah dipojokkan.
Iya 'kan?
"Toneri tidak mungkin, tidak mungkin." Ia menarik napas panjang untuk menahan tangis, lalu ketika air mata itu sungguh keluar dari matanya, ia membenamkan wajahnya di ranjang.
Hotel, seorang pria, dan wanita dewasa. Siapapun akan langsung berpikir 'ke sana' hanya dengan mendengar satu kalimat tersebut. Mereka tidak mungkin pergi ke hotel hanya untuk sekadar berbincang jika saja mereka berdua adalah kolega kerja. Namun bila perempuan itu bukan kolega kerja Toneri ... lalu apa?
Selingkuhannya?
Hinata mengusap air matanya, ia tidak sanggup lagi membayangkan apa yang kekasihnya lakukan disana.
Jas berwarna abu-abu yang digunakan Toneri difoto itu adalah jas yang digunakan tiga hari lalu, ia ingat betul sebab ia yang membelikan jas tersebut. Ia memang tidak tahu waktu pastinya, namun bila dilihat dari cahaya di foto tersebut, kejadiannya adalah saat sore hari--di waktu sepulang kerja.
Inilah alasan Toneri tidak pernah bisa mengantarnya pulang? Agar bisa bermesraan dengan perempuan lain?
Hinata menggelengkan kepala, berusaha keras mengusir pikiran hina mengenai kekasihnya. Toneri itu baik, setia, dan tidak mungkin mengkhianatinya, ia mempercayainya. Atau lebih tepatnya, ia hanya sedang mencoba mempercayainya.
Kembali ke awal, foto itu mungkin saja ulah Naruto. Naruto mengeditnya sedemikian rupa untuk mendukung tuduhannya terhadap Toneri, itu pasti. Walau ia tidak tahu alasan Naruto bersikap seperti ini-mencoba memisahkannya dari kekasihnya dengan menuding Toneri berselingkuh, yang jelas ia tidak bisa menoleransinya.
Hinata berhenti menangis saat sadar bahwa tangisnya tidak berarti apa-apa. Seraya menggigit bibir, ia mengambil ponselnya untuk menghubungi Toneri. "Halo?"
"Kau baru saja menangis?"
Gadis itu diam, seharusnya ia menelepon Toneri ketika suaranya sudah normal. "Tidak, aku hanya sedang pilek," ujarnya, ia berdiri dari duduknya untuk berpindah ke atas ranjang. "Apa kau bisa menjemputku lebih pagi besok?"
"Tentu, ada sesuatu?"
Ia pura-pura tertawa, namun tawanya tetap terdengar sumbang. "Aku hanya ingin berkencan denganmu, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...