[ 17 April ]
.
Toneri duduk dibelakang setir mobil dengan wajah cemas. Keningnya mengerut. Kantung matanya tampak jelas, tanda bahwa pria berusia 25 tahun itu tidak tidur dengan cukup.
Detakan arloji berwarna abu-abu miliknya adalah satu-satunya teman Toneri untuk menunggu. Kepalanya menengok ke kiri, jendela mobil transparan itu tidak menghalangi pandangannya pada bangunan EIX Corp--tempat Hinata bekerja. Sudah lebih dari sepuluh menit mobilnya terparkir tak jauh dari sana. Setahunya ini jam pulang kerja Hinata, gadis itu sebentar lagi pasti keluar dan ia memiliki kesempatan untuk menemuinya.
Tak berselang lebih dari tiga menit, mata biru Toneri menemukan keberadaan Hinata diantara staf-staf yang keluar bangunan. Pintu mobil miliknya terbuka dengan cepat, meloloskan keberadaannya dari sana. Toneri beranjak pergi, berlari menuju arah Hinata yang terkejut ketika melihat keberadaannya. Ia mencekal lengan gadis itu ketika Hinata berniat menghindar.
"Lepas!"
Toneri tidak sedikitpun peduli bila orang-orang disekitar mereka menatap aneh dirinya karena menarik Hinata pergi. Ia hanya memerlukan waktu untuk berbicara dengan Hinata-nya, ia harus menjelaskan semuanya.
"Lepaskan aku!"
Cekalan itu terlepas ketika Hinata menyikut perut Toneri, namun pria itu kembali menahannya saat kakinya bersiap berlari.
"Tolong, dengarkan penjelasanku dulu, Hinata. Kejadian tempo hari tidak seperti yang kau bayangkan." Toneri memelas, tidak marah atas rasa sakit diperutnya akibat ulah sang kekasih. "Kami tidak--"
"Apa kau pikir aku bodoh?"
Hinata menyela, berhenti memberontak sebab rasanya sia-sia. Jika masalahnya dengan Toneri tidak diselesaikan disini, pria itu akan terus menghantui mimpinya, membuatnya mengalami insomnia tiap malam. Lagipula ia sudah mengatakan pada Naruto bahwa ia adalah perempuan tegar, ia harus menuntaskan segalanya disini, saat ini juga.
"Aku memiliki mata, Toneri. Kalian ada di kamar dan telanjang, aku tidak tolol untuk mendengar penjelasanmu! Jadi tolong, lepaskan aku!"
Pria itu bergeming. "Tidakkah kau sedikit iba padaku?"
"Setelah kau menyeleweng dariku?"
Toneri menatapnya penuh rasa bersalah, Hinata-nya yang manis dan lembut kini memberinya tatapan penuh kebencian. Tatapan cinta yang selalu Hinata berikan ... telah lenyap akibat tindakan hina yang ia lakukan.
Demi Tuhan, Toneri tidak ingin Hinata membencinya.
"Aku mengirimimu pesan, meneleponmu ratusan kali hingga rasanya seperti orang gila karena kau memblokir nomorku. Bahkan bila kau memintaku bersimpuh sekarang, akan aku lakukan asal kau memaafkanku."
Yang Hinata perlukan bukan permintaan maaf, bukan juga pria itu yang bersimpuh dihadapannya. Hinata hanya ingin Toneri melepasnya sehingga tidak ada secuil hal tersisa dari hubungan mereka. Cukup sekali saja, Hinata tidak mau kembali tersakiti dengan memberi Toneri kesempatan kedua. Ia bukan perempuan bodoh yang rela disakiti hanya demi cinta. "Kita selesai disini, Toneri."
Tidak.
Tidak boleh seperti itu.
Seolah kehilangan udara, dada Toneri merasa sesak. Kepergian Hinata adalah sebuah hal yang tidak pernah ia bayangkan sepanjang hidupnya. Dengan tergesa-gesa, ia menarik tangan Hinata lagi. Mencekal, mencengkeram pergelangannya dengan kuat agar gadisnya tidak pergi. "Hinata, jangan seperti ini. Kita--"
"Lepaskan tanganku! Sudah kubilang kita selesai, keparat!"
"Tapi aku tidak mengatakan setuju!"
Dan tanpa peringatan apapun, seorang tokoh pria hadir di tengah sandiwara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...