Naruto menatap pergelangan tangan tempat jam-nya berada, bibirnya bergumam lirih ketika tahu bahwa waktu sudah semakin larut. "Delapan lebih," lirihnya, kedua kaki panjangnya kembali melangkah melewati koridor menuju lift.
Benda kotak persegi itu mengeluarkan bunyi khas seiring pintunya yang terbuka. Beberapa orang yang berada di dalamnya keluar, membuat lift itu kosong--hanya menyisakan dirinya sendiri untuk naik. Tak perlu waktu lama baginya untuk menekan tombol hingga lift--kubus tertutup itu--menelannya hidup-hidup.
Seraya menunggu, Naruto menyandarkan punggungnya pada dinding besi. Matanya terpejam lemah, telapak tangannya bersembunyi di dalam saku hoodie, ia mengembuskan napas lembut ketika pintu besi didepannya kembali terbuka.
"Aku mengantuk," gumamnya seraya menguap kecil, ia mengusap matanya yang berair lalu melangkah keluar.
Pukul delapan malam, maka sudah lebih dari tiga jam sejak perselisihannya dengan Hinata. Untunglah gadis itu hanya mengamuk selama sepuluh menit, karena jika tidak, bisa dipastikan bila telinganya akan tuli lantaran kencangnya volume dari airpods.
'Berisik, tapi cantik.'
Naruto membatin heran, inikah alasan adanya ungkapan 'di setiap kekurangan, selalu ada kelebihan'? Kelebihan Hinata itu cantik, sedangkan kekurangannya adalah berisik dan suka mengumpat.
Menyebalkan.
Naruto masuk kedalam toko yang berada didalam gedung apartemen. Tanpa membuang-buang waktu, kepalanya berpendar untuk mencari barang yang ia butuhkan lalu membawanya ke kasir dengan segera. Sudah ia katakan, ia mengantuk, ia hanya ingin membeli barang keperluannya lalu kembali beristirahat setelah seharian bekerja.
"Tolong, hitung ini."
Kasir perempuan itu tersenyum ramah seraya menyodorkan uang kembalian pembelinya. "Terima kasih."
Naruto mengangguk singkat kemudian bergegas kembali ke kediamannya.
•••
"Hei, bangunlah."
Hinata melenguh panjang saat merasakan guncangan di bahunya. Matanya mengerjap berulang kali sebelum sadar bahwa mata biru itu menatapnya dalam jarak dekat. "H-hei, menjauhlah!" ucapnya lalu berusaha mendorong Naruto, namun justru dirinya sendiri yang terjatuh dari sofa akibat kehilangan keseimbangan. "Akhh, sakit."
Naruto tersenyum lega, dirinya nyaris terjengkang jika saja tidak segera menghindar. Ia segera berdiri tanpa berniat menolong Hinata yang masih terduduk di lantai. "Sudah dibangunkan, kau malah mendorongku?"
"Itu refleks, kurang ajar. Bayangkan saja jika kau bangun tidur dan melihat orang mesum nyaris menciummu!" protes Hinata seraya mengusap pantatnya yang terasa sakit.
"Hei, aku bukan orang mesum dan sama sekali tidak berniat menciummu!" Naruto memberi penyangkalan, predikat mesum sama sekali tidak pantas disandingkan dengannya. "Bangun sendiri, aku tidak akan menolongmu."
Gigi geraham Hinata bergemeletuk keras. 'Siapa juga yang ingin ditolong?!' batinnya lalu kembali duduk di sofa. Ia menatap sekelilingnya dan baru sadar bila ia tidak tidur di kamar. Ini ruang tamu, ia tidak sengaja tidur disini. "Aku ... ketiduran?"
"Ya, lebih baik segera pindahlah ke kamar agar kau tidak terjatuh dari sofa," nasehatnya, ia mengulum senyum saat menyadari betapa berantakan penampilan roommate-nya.
Rambut biru yang selalu tampak rapi, kini acak-acakan. Mata perak yang biasanya menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, kini terlihat sayu. Hyuga Hinata tampak jauh berbeda, namun ada satu fakta yang tidak berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...