"Semakin hari kau semakin cantik, Hinata."
Pujian manis itu menimbulkan senyuman di bibir merah Hinata. Meski ia tahu Toneri menyayangi dan mencintainya, pria itu sangat jarang memujinya seperti ini. Selain karena sikap pria itu yang cenderung tertutup dan pemalu, Toneri juga jarang menunjukkan rasa sayangnya lewat pujian.
"Yang benar?"
"Aku tidak berbohong."
Toneri menginjak rem mobil untuk menghentikan laju kendaraan roda empatnya. Mobil bermerk avanza dengan warna silver itu berhenti di depan gedung perusahaan tempat Hinata bekerja, yang otomatis membuat mereka berpisah disini. Namun sebelum Hinata melepas safetybelt, ia mencekal pergelangan gadis itu. "Sebentar saja, aku ingin berdua bersamamu."
"Apa berjauhan selama satu minggu membuatmu sangat merindukanku?" Hinata tertawa menggoda, ia menggenggam tangan Toneri lalu mengecupnya lembut. "Kita bisa berkencan setelah aku pulang kerja, Toneri."
Raut wajah tenang Toneri berubah kalut, ia tidak bisa memenuhi ajakan Hinata. "Maaf, aku tidak bisa. Aku masih berada di perusahaan untuk bekerja hingga malam, tidak mungkin aku mengajakmu berkencan selarut itu," gumamnya penuh penyesalan, ia balas mengecup telapak tangan halus kekasihnya. "Hanya diwaktu-waktu mengantarmu, aku memiliki waktu berdua bersamamu."
Hinata mengulum bibir, ia tidak mau memaksakan kehendak untuk berkencan. Ia tahu kekasihnya sibuk, 24 jamnya nyaris digunakan untuk bekerja. "Tidak apa-apa, aku paham."
"Maaf, seharusnya kau berhubungan dengan pria yang bisa meluangkan banyak waktu untukmu, bukan sepertiku."
Gadis yang duduk di samping kursi pengemudi itu tertawa pelan. "Jadi, aku boleh berhubungan dengan pria lain?" godanya, Toneri mengerutkan kening.
"Tidak seperti itu juga. Aku ... hanya terlalu bingung untuk meminta maaf." Ia memajukan tubuh hingga melewati persneling, bibirnya kembali mengecup.
Namun bukan di telapak tangan, melainkan wajah gembil Hinata. "Aku mencintaimu.""Aku juga, Toneri."
Hinata membalasnya, menghujani Toneri dengan belasan kecupan di seluruh wajah rupawan pria itu tanpa meninggalkan noda lipstik. Namun Toneri menghentikannya dengan mendorong bahunya, membuatnya otomatis menyandar pada kursi penumpang.
"Hinata." Toneri memanggil namanya dengan suara parau, jarak mereka menjadi kian dekat setiap detiknya. Tak berselang lama, pria itu menciumnya tepat di bibir. Mengulum bibirnya dengan lembut, lalu menyesapnya tanpa rasa sakit sama sekali.
Berjarak lima meter, Naruto mengalihkan pandangan dari Hinata yang tengah berciuman di dalam mobil. Ia tidak akan berbohong atau berpura-pura bahwa pemandangan itu tidak membuat hatinya memanas. Ia mengaku, ia cemburu, ia tidak suka Hinata bercumbu dengan seseorang yang mengkhianatinya. Gadis itu sedang dibodohi, dan ia tidak ingin Hinata diperlakukan seperti ini.
Berusaha mengabaikannya, Naruto memasang airpods-nya seraya melangkah memasuki bangunan perusahaan. Setelah menekan tombol, suara Shikamaru memenuhi gendang telinganya. "Jadwalnya diubah menjadi malam ini, katamu? Tidak, hanya saja, aku tidak menyangka jika semuanya berjalan secepat ini."
"Meng-hack komputer asisten Otsutsuki Toneri untuk mengetahui jadwalnya memerlukan biaya, kau harus mengganti uangku."
"Akan aku ganti dua kali lipat, yang terpenting semuanya berjalan sesuai rencana." Ia menekan tombol lift, kemudian mengetukkan ujung sepatunya seraya menunggu.
"Kau menyukainya hingga bertindak seperti ini, bukan?"
Gerakan kaki Naruto berhenti selama tiga detik, apa memang terlihat jelas jika ia menyukai Hinata? "Sudah kukatakan, dia hanya roommate-ku."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...