Chapter 10: Spark Of Envy

1.4K 239 15
                                    

"Kau yang memindahkanku ke kamar?"

Naruto mengangguk tanpa menatapnya, atensinya tertuju sepenuhnya pada layar televisi yang menampilkan berita olahraga. "Kau pikir siapa lagi?" sahutnya, ia meraih secangkir kopi yang baru saja ia buat beberapa saat lalu.

Sementara Hinata bersedekap dada, cangkir berbahan dasar porselen itu direbutnya hingga isi didalamnya nyaris tumpah. Ia mengangkat sebelah tangan—menginterupsi Naruto untuk diam saat tahu pria itu berniat memarahinya, bagaimanapun ia harus tahu apa saja yang terjadi selama ia tertidur. "Kau tidak melakukan sesuatu padaku, bukan?" tanyanya seraya melempar tatapan menyelidik.

Ia terbangun pada pukul 05.45, berarti ia telah tertidur selama kurang lebih 1 jam 45 menit sejak pukul 4. Saat pertama kali membuka mata tadi, ia langsung terkejut ketika menyadari bahwa tubuhnya terbaring di ranjang. Ingatan terakhir yang berhasil ia ingat adalah saat dirinya ditinggal Naruto ke kamar mandi, lalu karena tiba-tiba di serang kantuk, ia meletakkan kepalanya diatas lipatan lengan dan memejamkan mata. Dan hanya sebatas itu, ia tidak mampu mengingat apapun lagi selain rasa nyaman dari tidurnya.

Jadi, wajar saja bukan jika ia menaruh curiga pada Naruto? Bukan, bukan menuduh, ia hanya ingin memastikan. Pria itu bisa saja melakukan sesuatu saat ia tidak sadar.

"Astaga, jika tahu kau seperti ini aku akan membiarkanmu tidur di kursi," sindirnya terang-terangan, ia mencoba merebut kopinya lagi, namun Hinata mengangkatnya semakin tinggi. "Kalau sampai tumpah, aku akan melemparmu lewat jendela."

Meski ancaman itu terdengar sangat mengerikan, terlebih mereka tinggal di lantai lima yang cukup tinggi untuk meremukkan tulang seseorang yang jatuh dari jendela, Hinata tetap mempertahankan cangkir kopi Naruto di udara. Tidak masalah bila kopi itu sungguh tumpah, ia akan langsung berlari pergi sebelum pria itu menyeretnya ke jendela.

Naruto justru mengacak rambut pirangnya yang telah tersisir rapi. Gadis itu tidak membalas perkataannya barang helaan napas, namun tetap memandanginya dengan tatapan tajam yang memuakkan. Jika saja ia tahu pada akhirnya Hinata akan mencurigainya seperti ini, ia sungguh akan membiarkan gadis itu tertidur di dapur.

"Bukannya berterima kasih, kau justru menuduhku yang tidak-tidak?" Ia menggeleng tidak percaya, Hyuga Hinata lebih menyebalkan dari yang ia kira. "Demi Tuhan, aku sama sekali tidak tertarik denganmu untuk melakukan sesuatu yang hina. Kau itu sama sekali bukan tipeku," sanggahnya cepat kemudian kembali menggapai cangkir kopinya, lagi-lagi Hinata menjauhkan benda itu dari jangkauannya.

Ya Tuhan, ia hanya ingin minum kopi dengan tenang.

"Sungguh?" Hinata kembali memberi tatapan menyelidik, sedikit tidak percaya namun mata biru di sana tidak tampak berdusta. Sepertinya, Naruto benar-benar tidak melakukan apapun padanya. "Kalau aku menemukan lecet di tubuhku, disaat itu juga aku akan mematahkan pergelangan tanganmu." Ia balas memberi ancaman, pria di depannya bertampang mencemooh.

Naruto masih duduk di sofa, kepalanya mendongak untuk menatap Hinata yang berdiri di depannya. Tangan kanannya terjulur guna menagih kopinya, benda berwarna pekat itu pasti sudah dingin lantaran Hinata 'menerbangkannya' kesana-kemari. "Patahkan leherku jika perlu. Sudahlah, kembalikan kopiku, aku—" Matanya membelalak lebar saat Hinata meminum kopi tersebut dengan cepat tanpa mengambil jeda untuk bernapas. "H-hei! Itu kopiku, sialan! Kau—ah, Hinata sialan!"

Hinata mengusap sudut bibirnya lalu meletakkan cangkir itu ke tempatnya semula, di atas meja. Seraya mendengarkan Naruto yang sibuk mengumpat, lidahnya mengecap sisa-sisa cairan kopi di mulutnya untuk merasakan kembali sensasi rasa manis-pahit tersebut.

Oh, kopi buatan Naruto tidak seenak buatannya.

"Totalnya 4000 yen karena kau menyentuhku, masuk ke kamarku, dan mengumpat dua kali padaku. Dan kau tahu? Rasa kopimu tidak seenak kelihatannya, tapi aku tetap suka."

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang