Chapter 19: Be grateful

1.6K 281 25
                                    

15 April, 09.00

.

Hinata membenamkan wajahnya di atas bantal, menyembunyikan rasa malunya yang sudah berada ditingkat dewa. Ingatan kemarin malam mulai masuk ke otaknya secara perlahan, menyusun rentetan peristiwa yang bahkan Hinata sendiri enggan untuk menjelaskannya lagi.

Inikah alasan Naruto memintanya mengingat sendiri kejadian kemarin?

Jika tahu kejadiannya seperti itu, Hinata akan mengurungkan niatnya untuk membuka ponsel lima menit lalu. Tentu nama Toneri berada di baris atas riwayat pengiriman pesan dan panggilan, alhasil deretan memori mengenai pria itu langsung terproyeksi, membuatnya tahu tentang betapa kacaunya ia kemarin.

Tubuhnya bangkit untuk duduk menyandar di kepala ranjang. Hinata mengusap wajahnya yang basah sebab tangis, bagaimanapun ia benar-benar tidak siap atas pengkhianatan yang Toneri lakukan. Pria yang selama setahun belakangan selalu menemaninya, berkata mencintainya, bahkan menjanjikan sebuah pernikahan, nyatanya melakukan perzinaan.

Kalimat 'tidak menyangka' mungkin kurang tepat untuk menggambarkan betapa terkejutnya Hinata. Gadis itu 'benar-benar tidak menyangka' jika Toneri yang dikenalnya baik dan setia bisa melakukan hal menjijikkan semacam ini. Terlebih, alasan perzinaan Toneri adalah karena tidak ingin merusaknya.

Keparat, hal seperti itu tidak bisa dijadikan alasan. Pria itu memang tidak merusaknya, tapi menyakiti hatinya.

Hinata menarik napas panjang ketika sadar menangis tidak akan merubah apapun. Ada persoalan yang mesti ia selesaikan, yaitu meminta maaf pada Naruto atas kelakuannya semalam. Entah Naruto memaafkannya atau tidak, yang terpenting pria itu tahu ia sedang mabuk dan tidak sadar atas kegilaannya. Ia hanya tidak mau dituduh perempuan murahan. Apalagi, Naruto adalah orang gila yang akan menjadikan hal ini sebagai kelebihannya jika ia tidak segera meminta maaf.

Beranjak dari kamarnya, Hinata mengetuk pintu kamar Naruto yang tertutup. Ini hari libur, seharusnya pria itu berada di dalam sana karena ia tidak menjumpainya dimana pun.

"Maaf." Ia mengusap leher belakang ketika pintu itu terbuka, peristiwa semalam membuatnya tidak mampu menatap wajah Naruto. "Kau benar, semua pria di dunia ini adalah bajingan."

Naruto menarik sebelah sudut bibir, pintu itu dibiarkan terbuka lebar sebelum ia kembali masuk ke dalam kamarnya. "Sudah ingat?" tanyanya seraya mendudukkan diri di pinggir ranjang. Mata birunya tidak terlepas dari Hinata yang masih berdiri diambang pintu. "Masuklah, aku juga sudah masuk ke kamarmu berkali-kali."

Hinata mengulum bibir, diam dalam waktu lama. "Aku disini saja."

"Takut? Padahal semalam kau memintaku--"

"Stop, dasar sialan!"

Naruto tertawa ringan ketika melihat Hinata memasuki kamarnya dengan wajah merengut, jelas sedang menahan malu sebab wajahnya yang seputih salju berubah semerah tomat. "Sudah kuduga, kau memang tidak cocok bertampang menyedihkan seperti tadi." Tangan kanannya menjadi penyangga ketika ia memutar tubuh menghadap Hinata yang berada disebelah kanannya. "Tapi tolong koreksi ucapanmu, semua pria di dunia ini bajingan kecuali aku."

Pria itu tertawa saat Hinata kembali mengeluarkan umpatan.

"Aku benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi semalam. Kau tahu aku mabuk dan ya .... aku melakukan banyak hal tidak sopan padamu. Aku tidak tahu kau bersedia memaafkanku atau tidak, aku ha--"

"Hei, kau meminta maaf atau pidato? Aku sampai mengantuk." Naruto menggelengkan kepala, ia tentu tahu keadaan Hinata semalam tanpa dijelaskan sekalipun. "Iya, kumaafkan."

"Sudah? Semudah ini?"

"Ingin kupersulit?"

Hinata menggeleng kuat. Hidupnya sudah cukup sulit sekarang, ia tidak akan sudi membiarkan Naruto kian mempersulit segalanya. Hanya saja rasanya sangat tidak nyaman mendapatkan permintaan maaf seperti ini. "Kau tidak akan memerasku atas kejadian semalam, 'kan?"

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang