Chapter 7: A Butterfly

1.7K 278 25
                                    

Sasuke mendudukkan dirinya di kursi direktur, singgasana yang telah ditempatinya selama hampir 2 tahun. Seraya membuka dokumen berisi berkas yang beberapa saat lalu diserahkan asistennya, ia mengetuk permukaan meja menggunakan jari-jemarinya.

"Hyuga Hinata," gumamnya, teringat pertemuan singkatnya bersama gadis itu sepuluh menit yang lalu.

Bila ditanya bagaimana caranya mengetahui nama Hinata, maka ia akan menjawab bila ia tahu dari data karyawan baru yang dibacanya pagi tadi. Meski tidak hafal semuanya, setidaknya ia yakin bila gadis tadi sungguh bernama Hyuga Hinata.

Cantik. Ia tidak akan pura-pura menjaga prestisenya hanya untuk pujian semacam itu. Gadis itu—Hyuga Hinata adalah gadis yang cantik, kompeten, dan,

Menakjubkan. Penampilannya terlihat sempurna, tidak memiliki celah sedikitpun.

Brak!

Kepalanya menengok ke arah pintu yang terbuka secara kasar. Ia memutar bola mata, kemudian membereskan dokumen-dokumen di mejanya sebelum menopang dagu, bersiap mendengarkan ocehan yang beberapa detik lagi memenuhi pendengarannya.

"Kau keparat!"

Sasuke mengembuskan napas lelah. "Duduklah, karyawan kurang ajar."

Naruto duduk di sofa yang berada di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di bawah dada dengan wajah memberengut kesal. Setelah mengumpat dalam belasan kata berbeda, mulutnya mengatup untuk lima detik--berencana kembali mengumpat pada pria yang berada dibelakang meja direktur. "Kau sungguh keparat, Sasuke!"

"Berisik, orang-orang diluar akan mendengarnya," ucapnya, ia beranjak dan menghampiri Naruto yang duduk disofa terpisah. "Kau kesal hanya karena masalah tadi?"

"Hanya?" Naruto menatapnya jengkel, dipermalukan seperti itu tidak cukup dengan kata 'hanya'! "Demi Tuhan, Sasuke, kau memperlakukanku seperti seorang karyawan sungguhan! Dan apa-apaan tingkahmu yang sok berkuasa itu?!"

Sasuke tertawa pelan melihat karyawannya yang masih menggerutu, pria pirang itu sibuk mencelanya dengan berbagai macam kalimat hingga ia tidak memiliki celah untuk menyela.

"Aku hampir muntah saat kau memintaku membungkuk!"

Pria berambut hitam dengan setelan jas berwarna serupa itu manggut-manggut, pasrah atas apa saja celaan yang bawahannya berikan padanya. Lalu ketika si Namikaze pirang itu telah diam, ia mengembuskan napas kasar. "Sudah mengomelnya?"

Naruto mendengkus.

"Kau sendiri yang meminta menjadi karyawan di perusahaanku, keparat. Jangan lupa jika kau merengek seperti bayi saat aku menolak permintaanmu."

Kedua alis Naruto saling bertaut, keningnya mengerut pertanda geram. "Bukan menjadi karyawan, tapi berpura-pura menjadi karyawan, sialan!"

Sikap Naruto penuh temperamen, pria berambut pirang itu sangat mudah marah ataupun kesal jika sesuatu yang dikehendaki tidak sesuai dengan harapannya. Dan untung saja, Sasuke sudah terbiasa menghadapi sikap menyebalkan sahabatnya.

"Baik, baik. Jadi, kau marah karena aku memintamu membungkuk di depan gadis tadi?"

Naruto menggeleng. "Ubah kalimatmu menjadi 'kau marah karena aku memintamu membungkuk', ini tidak ada sangkut pautnya dengan gadis itu," koreksinya, ia mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak ingin kau melakukannya lagi, Sasuke."

"Kau itu banyak permintaannya, ya," sindirnya. "Setelah meminta berpura-pura menjadi karyawan, mendapatkan satu unit apartemen gratis, dan tidak ingin membungkuk di depan direktur, apalagi yang kau minta?"

Ya, ya, ya. Naruto tahu jika dirinya terlalu banyak meminta pada Sasuke. Hanya saja, pria bermarga Uchiha itu sama sekali tidak pernah menolak permintaannya--tidak, lebih tepatnya karena ia terus mendesak hingga Sasuke terpaksa berkata 'Ya'.

My Bastard Roommate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang