[ 07.00 ]
.
Ternyata, yang ia hubungi tadi malam bukanlah nomor polisi. Tapi justru nomor roommate-nya--Naruto. Pria itu sendiri yang mengatakan bahwa ia meneleponnya, namun sambungannya terputus sebelum sempat diangkat. Dan katanya, Naruto segera mencarinya sebab merasa khawatir.
Hinata menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya dalam satu dorongan. Seraya menatap pantulan dirinya di cermin, ia menyentuh dada kiri--tempat dimana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Sudah lebih dari lima menit ia berkaca tanpa sedikitpun bergeming. Berperang dengan pikirannya sendiri mengenai kelanjutan pekerjaannya. Bekerja di EIX Corp memang salah satu goal dalam hidupnya, namun bila memikirkan peristiwa semalam, ia akan berpikir seribu kali untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
Pasti ada satu waktu dimana ia bertemu direktur, entah kapanpun itu. Mencoba menghindari atasannya pun bukanlah perkara sopan. Namun bila memutuskan menyapanya, Hinata tidak yakin bisa mengontrol mulutnya untuk tidak mengumpat.
Ia hanya terlalu kalut.
Tok
Tok
Tok
"Hei, berdandannya jangan lama-lama, aku sudah berlumut!"
Teriakan itu memecah fokusnya. Buru-buru ia meraih tasnya yang tergeletak di ranjang, kemudian berjalan menuju pintu. "Aku tidak berdandan," protesnya seraya menatap Naruto yang sedang duduk di sofa. "Tumben sekali kau sudah siap, biasanya aku harus menggedor pintumu agar kau bangun."
Naruto tertawa ringan, menutupi fakta bila sepanjang malam matanya tidak terpejam walau hanya sekejap. Sekembalinya dari unit nomor 150--tempat Sakura tinggal--untuk membicarakan sesuatu, ia tidak bisa terlelap sedetikpun sebab memikirkan Hinata. Tentang apa yang terjadi sebelum ia datang, ataupun bagaimana jadinya bila ia tidak datang. Seperti;
Apa yang sudah Sasuke lakukan pada mereka?
Apa yang Sasuke lakukan setelah membuka kemeja Hinata?
Apa yang akan Sasuke lakukan ... seandainya ia terlambat datang?
Lagi-lagi, Naruto memasang wajah palsu di depan roommate-nya. Berpura-pura ceria untuk menyembunyikan betapa kalutnya ia. Bibirnya senantiasa tertawa sebab tidak ingin Hinata merasa tidak nyaman atas kekhawatirannya.
"Daripada menggedor pintu, menciumku seribu kali lebih efektif untuk membuatku bangun," godanya. Wajah memerah akibat kesal di depannya membuatnya tidak tanggung-tanggung untuk melabuhkan tawa.
Hanya saja, alasan wajah Hinata yang berubah merah bukanlah sebab amarah. Tapi akibat tersipu.
"Ayo berangkat, Hinata."
Naruto berdiri dan berjalan keluar, Hinata mengekor di belakangnya tanpa suara. Dan jujur saja, Naruto sangat amat membenci sikap diam Hinata. Gadis itu seharusnya mengumpat atau meneriakinya saja daripada menutup mulut seperti ini.
Selepas pintu lift itu tertutup, Naruto menempelkan punggung tangannya di kening Hinata untuk mengukur suhu. "Kau tidak demam, kenapa wajahmu pucat?" tanyanya, cemas pada bulir-bulir keringat yang muncul dari pelipis gadis itu. "Jika sakit tidak usah bekerja. Kita ke rumah sa--"
"Aku tidak sakit," potongnya cepat, ia mengusap keringatnya dengan perlahan. "Aku baik-baik saja, jangan khawa--"
Hinata menolehkan kepala ke arah Naruto yang justru berdecak. Pria itu melempar tatapan skeptis, kemungkinan besar tahu bila perkataannya hanyalah kebohongan belaka.
Dan ya, tentu saja, Naruto adalah yang paling peka.
Ketika pintu besi di depan mereka terbelah menjadi dua, Naruto menggenggam tangan Hinata tanpa seizin pemiliknya, kemudian menariknya begitu saja menuju basement. Maaf saja pada siapapun yang mengira bila ia mengambil kesempatan, tapi niat sebenarnya hanya untuk membuat Hinata tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...