Sasuke membungkus tubuh tegapnya dengan handuk piyama, telapak kaki telanjangnya menapak di lantai keramik menuju dapur. Selepas meneguk sebotol air mineral dingin, pria itu meraih ponselnya yang berada diatas meja, kemudian mengabaikan panggilan telepon dari sahabatnya.
Sasuke tahu Naruto pasti berniat menceramahinya tentang beberapa hal, terutama masalah perempuan. Tapi Sasuke tidak habis pikir, mengapa kepala pirang itu senang sekali mengurusi kehidupannya?
"Sasuke."
Pria itu hanya melirik ke belakang, tidak berniat menatap perempuan yang baru saja menghabiskan waktu di ranjang bersamanya. "Hm," sahutnya pelan, ia duduk di kursi dapur dan memainkan ponsel.
Sementara perempuan berambut merah sebatas pinggang itu meremas jari. Gugup ketika pria yang bersikap baik padanya dua jam lalu justru mengabaikannya seperti ini. "Aku ingin--"
"Pulang lah."
Saara mengernyit, yakin tidak salah mendengar nada usiran di kata-kata Uchiha Sasuke--pria yang memujinya sejak awal mereka bertemu. "Kau mengusirku?" tanyanya takut-takut, tapi ia terlalu kecewa untuk diam.
Saara pikir, Sasuke adalah pria yang menginginkan hubungan seperti percintaan, mengingat betapa baiknya Sasuke dalam memperlakukannya. Pria itu mendekatinya tiga hari lalu, memujanya seolah ia adalah perempuan terakhir di dunia, dan dengan bodohnya ia justru jatuh kedalam pesona Sasuke.
Bagaimana bisa pria itu membuangnya seperti ini?
Saara memohon untuk singgah, merengek sembari menggenggam tangan Sasuke, berharap agar Sasuke mengizinkannya tetap disini. Namun, pria itu kelewat tidak peduli hanya untuk sekadar menepisnya. Sasuke itu ... bukan tipe pria yang mendambakan hubungan diatas komitmen. Hubungan semalam sudah cukup untuk memuaskan dirinya atas rasa cinta. Sasuke tidak butuh perempuan disisinya melebihi kebutuhan ranjang.
Lagipula, pria itu kehilangan ketertarikan pada sayap kupu-kupu yang telah patah ditangannya.
"Akan kulakukan apapun, tapi jangan mengusirku, Sasuke."
Bodoh sekali, Sasuke membatin. Semua perempuan yang ia bawa ke rumahnya tentu bodoh. Melemparkan diri mereka secara sukarela hanya karena hubungan semalam, padahal ia sama sekali tidak menjanjikan sebuah kepastian. Tapi dengan kebodohannya inilah, Sasuke mampu mengendalikan perasaan mereka dengan mudah.
"Apapun?" Sasuke menopang wajahnya dengan sebelah tangan, matanya mulai menatap Saara yang mengangguk. "Strip."
"Tapi Sasuke, ini dapur." Saara masih memiliki sisi waras untuk tidak menanggalkan pakaiannya disini. Namun tatapan penuh intimidasi didepannya membuatnya menurut. Asal Sasuke mau menerimanya, ia akan melakukan apapun.
Sasuke menyeringai tipis ketika kembali melihat kulit tubuh Saara yang bersih. Satu persatu pakaian perempuan itu jatuh di lantai, kian mempertontonkan tubuhnya yang menawan, hanya saja Sasuke terlanjur kehilangan minat pada perempuan yang sudah ia sentuh.
"Pergilah, sejak awal aku tidak bilang ini hubungan yang menguntungkan." Sasuke berdiri, meninggalkan Saara yang terduduk dilantai dengan tubuh telanjang. Entah apapun yang perempuan itu lakukan untuknya, ia tetap tidak akan membiarkannya singgah. Terlebih, ia sudah memiliki target baru yang memiliki ketertarikan padanya.
"Selamat malam, Pak direktur."
Sasuke mengunci pintu kamar, berjaga-jaga seandainya Saara mengganggu waktunya mencari mangsa. Sembari menempelkan ponsel di telinga, mata hitamnya menatap bekas bercintanya dengan Saara yang berceceran di atas ranjang, kemudian mengabaikannya begitu saja.
"Selamat malam."
"Ada keperluan apa, Pak?"
Sasuke tertawa pelan. "Hanya menghubungi kupu-kupu yang cantik, Haruno Sakura."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...