Hinata meringkuk di atas ranjangnya, kasur berseprai seputih gading itu berdecit pelan setiap kali tubuhnya mengubah posisi. Setelah mandi beberapa saat lalu, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak hingga penatnya hilang.
Tiba-tiba, pikirannya terusik oleh perkataan Naruto setelah ia mandi tadi. Pria itu mengatakan hal yang sedikit rancu—atau lebih tepatnya, terlalu rumit untuk ia cerna.
"Terkecuali aku, semua pria di dunia ini bajingan, Hinata."
Maksudnya, apa-apaan itu? Apa Naruto mengatakan hal itu dengan artian bahwa pria itu adalah satu-satunya pria paling suci di alam semesta? Atau Naruto justru sedang menyombongkan diri?
"Dia itu bajingan, tapi tidak sadar diri," gumamnya sembari menopang dagu, tubuhnya berbaring telungkup dengan mata mengarah pada pantulannya di cermin.
Entah mengapa, beberapa hari belakangan ini Naruto menjadi sangat random. Terkadang, saat mereka berangkat bekerja bersama, pria itu mewanti-wantinya untuk tidak berkeliaran di kantor meski pada saat jam makan siang. Lalu juga melarangnya berbicara berlebihan dengan Uchiha Sasuke terlebih membicarakan mengenai urusan pribadi. Tapi, yang benar saja, mana mungkin ia membicarakan perihal kehidupannya pada direktur tempatnya bekerja?
Semakin lama ia mengenal Naruto, rasanya semakin ia tahu mengenai betapa anehnya pria itu.
"Kemarin mengatakan jika Uchiha Sasuke adalah pria bejat, dan sekarang dia berkata jika semua pria adalah bajingan?" Ia menggeleng geli, tidak paham atas cara otak Naruto bekerja. "Berani-beraninya dia mengatai direktur ditempatnya bekerja."
Hinata beranjak dari posisi berbaringnya untuk mengambil ponselnya yang berdering diatas nakas. Seulas senyum tipis hinggap di bibirnya ketika nama pemanggil yang muncul di layar adalah nama kekasihnya, Toneri. "Sekarang ingat jika memiliki kekasih?" Lagi-lagi ia tersenyum ketika mendengar suara tawa diseberang.
"Sedang apa?"
"Memikirkan kekonyolan roommate-ku," ujarnya, tercipta jeda yang cukup lama sebelum pria itu mengeluarkan gumaman. "Kenapa diam saja?"
"Tidak, hanya saja, kupikir aku cemburu."
Gelak tawa keras memenuhi ruangan bercat putih, Hinata mengusap dahinya menggunakan sebelah tangan seraya menempelkan ponselnya di telinga. "Kau cemburu? Aku bingung harus senang atau terharu, sayang."
Sementara di tempat lain, Toneri mendengkus pelan. Ini pertama kalinya ia mengungkapkan kecemburuannya, namun Hinata justru menertawainya? "Aku ingin meminta sesuatu, tapi kau tidak boleh marah."
Hinata mengusap sudut matanya yang berair, kepalanya mengangguk tanpa sadar. "Apa permintaanmu?"
"Aku tidak ingin terdengar posesif, tapi jangan terlalu dekat dengan roommate-mu. Dia pria dan kau perempuan yang cantik, jadi ya ... kau pasti paham, Hinata."
"Kenapa aku baru sadar jika kau punya sisi yang, menggemaskan?" Ia tertawa, terdengar dengkusan di seberang. "Percayalah, aku selalu menjaga jarak dengannya, Toneri."
Dibalik pintu berwarna coklat, Naruto bersandar seraya tetap memasang telinga, menguping seluruh percakapan Hinata meski perbuatannya ini bukanlah hal yang wajar.
Pria itu beranjak pergi setelah merasa bahwa apa yang Hinata dan kekasihnya bicarakan adalah hal yang sangat amat tidak penting. Atau mungkin lebih tepatnya, ia pergi karena tidak tahan lagi dengan suara Hinata yang lembut ketika memanggil nama Toneri.
"Menjaga jarak apanya, dia yang menempel padaku seperti lem," gumamnya kesal. Ia membanting pintu kamarnya kuat-kuat, kemudian melempar tubuh besarnya ke atas ranjang. "Setiap hari menumpang mobilku, lalu berkata jika dia menjaga jarak dariku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Roommate [END]
FanfictionDemi Tuhan, Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa roommate-nya adalah seorang pria pirang blesteran--setengah Jepang setengah bajingan. Hari-harinya yang tenang mulai terusik, terlebih ketika Naruto meringsek masuk secara paksa kedalam kehidupann...