Met sore jelang malem epribadeh!
Mon maap eike baru bisa posting bab ini Selasa, sebetulnya sih bab ini udah selesai dari kemaren, tapi eike masih blom sreg, jadi ... utak-atik, deh.
Oh ... eike posting bab khusus untuk vote bonus pre-order Sang Penantang Badai ya, pliss vote mana bonus yang kalian pengen untuk pre-order nanti yak.
For now, enjoy.
******
Kalau bukan karena kebaikan hati Keke yang telah menyentuh Steven sejak awal, mungkin kehidupan mereka tidak akan bersinggungan, karena keduanya berdiri di dua sisi dunia berbeda. Namun, terlepas dari karakter Steven yang egois dan arogan, dia adalah orang yang tahu membalas budi. Saat membalas budi seseorang dia pun tidak akan tanggung-tanggung, apa saja dilakukan agar bisa impas.
Namun, kali ini berbeda. Niat membalas budi kepada Keke malah berubah jadi keinginan untuk bisa lebih dekat, Steven pun menikmati setiap prosesnya dengan senang, karena setiap hal tentang gadis itu seperti sebuah halaman baru dalam novel seru yang dibacanya. Makin memancing rasa penasaran meski sebenarnya sudah bisa ditebak jalan ceritanya.
Mungkin benar, ada sebuah perasaan yang namanya jatuh cinta, dan Steven dengan sangat bodoh jatuh cinta kepada seorang wanita yang berbeda bagai langit dan bumi. Tidak apa-apa, dia tidak takut. Apa yang harus ditakutkan dari mencintai seorang gadis berhati tulus dan bersih yang isi kepalanya begitu terbaca dengan mudah? Justru Keke yang harus takut kalau jatuh cinta kepadanya. Karena isi kepala Steven bagaikan benang kusut yang entah di mana ujungnya.
"Berpikir tentang apa, Pak?" Goni, si pemrogram sinting bertanya saat tiba-tiba muncul di ruangan Steven. Dia satu-satunya orang yang boleh masuk ke ruangan Steven tanpa dipanggil dan tidak akan ditegur meski lupa mengetuk pintu. Steven menghargainya karena Goni adalah satu-satunya teman yang dia punya, dalam artian, teman sesungguhnya, bukan teman basa-basi. Sama seperti dengan Keke, Steven menjadi dekat dengan Goni karena alasan utang budi
Steven berdecak karena terusik. "Usil. Kenapa tanya?" Dia balik bertanya.
Goni duduk di depannya dan bersedekap. "Tampang Pak Steven kelihatan aneh, cerah padahal tidak sedang bicara dengan siapa-siapa. Biasanya Bapak cuma senyum kalau ada orang lain, dan memang harus. Berarti, ada sesuatu yang tidak biasa. Bapak sedang menyukai seseorang?"
Steven mendengkus, hampir terkekeh karena analisa sok tahu Goni yang tak sengaja tapi bisa tepat. "Sok tahu. Omong-omong, Hilman tadi ke sini. Dia membawa seorang teman wanita," katanya mengalihkan perhatian.
Ekspresi Goni berubah murung. "Iya. Itu yang ingin saya bicarakan dengan Bapak."
Steven langsung mampu menebak ke arah mana pembicaraan ini. "Apa?"
"Bisa saya minta dana juga? Potong dari share saya saja, Bapak pasti tahu perkiraan keuntungan dan sudah bisa memperhitungkan berapa kira-kira bagian saya."
Sejenak hening, Steven menatap Goni lama sebelum bertanya dengan hati-hati. "Kenapa bersamaan dengan Hilman?"
Goni menaikkan kacamatanya yang tebal. "Sebetulnya saya berniat membuka usaha bersama Hilman, Pak. Saya ingin punya sesuatu yang benar-benar punya saya."
"Yang benar-benar punya kamu? Tidak pernah merasa memiliki Lavender?"
"Saya memang punya saham tujuh persen, tapi bukan atas pencapaian saya sendiri, itu pemberian Bapak. Lavender punya Pak Steven, saya tetap pegawai."
Steven menghela napas. "Kamu berpikir begitu karena omongan Hilman?"
Goni tidak menjawab, tapi itu membuat Steven tahu kalau tebakannya benar. Dia menggeleng-geleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Simple Love
RomanceSteven Darmawan, pelaku ekonomi. Seorang pria sukses yang terlihat ramah dan karismatik meski sebetulnya arogan, perfeksionis, egois, dan sering merasa tidak nyaman dengan banyak hal, serta mencintai uang lebih dari apa pun. Dia tidak mengira akan j...