Enam Belas

14.7K 2.9K 182
                                    

Met siang epribadeh!

So, masih di edisi menghibur kalian yang mungkin stres gegara Covid-19 yang gak kunjung pergi, plus PPKM yang terpaksa harus dijalanin, nih eike suruh Keke-Steven manggung dulu.

Jangan stres lagi, ya.

Cekidot.

*******
Keke menjauhkan kepalanya dari tangan Rio dan berdiri salah tingkah. Wajahnya merah padam, dan Steven langsung tersengat cemburu melihatnya.

Apakah pria itu menyukai Keke? Sebaliknya, apakah Keke menyukai pria itu?

"Tetap aja, makasih, Mas, sampai disusul," ucap Keke sambil melambaikan ponselnya. Dia meraih tangan Steven yang langsung menoleh terkejut, dan menariknya mendekat. "Kenalkan, Mas Rio, ini Mas Steven, teman dekat saya."

Rio maupun Steven sama-sama terkejut mendengar kalimatnya. Namun, kedua pria matang itu langsung menguasai diri dan tersenyum formal sambil mengulurkan tangan.

"Apa kabar, Pak Rio? Saya Steven Darmawan, teman dekat Keke." Steven menyapa dengan nada sopan tapi mendominasi.

"Kabar baik, Pak Steven, terima kasih. Saya Rio, atasan Keke. Saya tidak menduga, teman dekat Keke adalah orang penting di Lavender," sahut Rio, sama sopan dan mendominasi. Tatapannya tajam, jelas menilai, dan ekspresinya berubah saat melihat Keke menoleh kaget dan menatap Steven.

Jadi, Keke tidak terlalu tahu siapa pria yang diakuinya teman dekat? Menarik.

Steven tersenyum. "Saya tersanjung Pak Rio mengenal saya, sama tersanjung karena akhirnya berkesempatan mengenal atasan Keke yang pasti dihormatinya," katanya manis.

Rio ingin tertawa sinis menyadari kepalsuan basa-basi Steven. Dia menatap Keke dan tersenyum. "Kok kamu bisa kenal orang sepenting Pak Steven, ya, Ke?"

Keke terlihat bingung, tetapi Steven meremas jemarinya hangat dan tertawa ramah, meski tawa itu tidak sampai ke matanya. "Yang Keke tahu, saya hanyalah laki-laki yang pernah ditolongnya, dan sekarang sedang mencoba mendekatinya. Sepertinya kedudukan saya tidak terlalu penting buat Keke," katanya diplomatis.

Rio membulatkan bibir. "Oh, begitu?"

Steven menatap Rio, kali ini dengan cara yang membuat Rio merasa dikuliti. "Begitu. Keke terlalu baik untuk melihat kedudukan, siapa pun bisa melihat itu dan merasa ingin melindunginya. Dia menggemaskan, bukan? Rasanya ingin menepuk-nepuk kepalanya, atau mencubit pipinya. Tapi, di Amerika, menyentuh seperti itu tanpa seizin orang yang disentuh adalah pelanggaran, jadi saya tidak berani menyentuhnya tanpa meminta izin dulu. Sepertinya di sini berbeda? Karena Anda menepuk kepala teman dekat saya begitu saja."

Wajah Rio merah padam, tersinggung karena secara tidak langsung Steven menyebutnya tidak sopan. Dia mengangkat dagu dan menarik sedikit ujung bibirnya hingga membentuk garis sinis. "Hubungan kami di departemen jauh lebih akrab daripada hubungan dalam sistem kerja Barat, Pak Steven. Harap maklum. Kebiasaan di sini berbeda dengan di sana, yang gap antar karyawan begitu jauh."

Steven bergeming, masih tersenyum. "Saya maklum, memang budaya di tiap negara pasti berbeda. Meski saya akan tetap menjaga tangan dari karyawan saya agar tidak menimbulkan salah paham. Anda tahu, kan? Banyak tokoh jatuh karena tuduhan pelecehan, padahal mereka tidak merasa melakukannya. Masalahnya, perbedaan antara pelecehan dan konsensual itu sangat tipis. Hanya berupa ya atau tidak dari subjeknya sendiri."

Rahang Rio mengetat, tersadar kalau pria di hadapannya bukan lagi menyindir tapi sudah menegur terang-terangan. Salahnya sendiri, sengaja memperlihatkan keakraban dengan Keke hanya untuk menyinggung pria pesolek itu, seharusnya dia mengukur dulu kapasitas masing-masing.

A Simple LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang