Met siang epribadeh ....
Met hari Senin! Bersyukurlah kalian yang akngen sama Keke-Steven karena adapter laptop eike langsung sampe dengan cepat, jadi apdet mereka enggak ketunda. So, cekidot.
*******
"Jadi papi dan mami Mas Steven masih ada dan Mas punya tiga adik tapi enggak mau bicara tentang mereka. Kenapa?" Keke bertanya heran. Saat itu wajahnya yang polos dan baru dibersihkan tampak memenuhi layar ponsel Steven yang lebar.
"Well, karena tidak ada yang bagus dari keluargaku yang bisa dibicarakan, Ke. I was born in a broken home family, I hate them all," jawab Steven sambil memasukkan sepotong besar pepaya ke mulut. Ponsel diletakkan di penyangga khusus sehingga dia tidak perlu memegangnya dan bisa tetap makan malam. Menunya saat itu, sepiring besar buah dan telur rebus.
Keke mengerjap lambat. "Kok bisa, benci sama keluarga sendiri?" gumamnya, terdengar bingung.
Steven tertawa kecil. "Kenapa tidak? Aku pernah terlunta-lunta di negeri orang belasan tahun, dan tidak satu pun dari mereka yang peduli. Apakah aneh kalau aku membenci mereka?"
Keke masih terlihat berpikir. "Uhm ... setiap orang punya alasan sendiri untuk tiap tindakan mereka, sih," putusnya bijak. "Tapi, apa Mas Steven merasa bahagia dengan keputusan membenci keluarga sendiri?"
Steven tertegun. Bahagia?
"Betewe, gimana kerjaan tadi? Sudah selesai?"
Lega rasanya karena Keke mengalihkan topik pembicaraan. Steven mengangguk cepat. Dia menyeka mulutnya dengan anggun sebelum menjawab. "Sudah. Masalah teknis sebetulnya, hanya saja, beberapa bagian memang hanya aku yang bisa akses, jadi butuh kehadiranku."
"Oh. Enggak terlalu gawat?"
"Cukup gawat untuk perusahaan yang sepenuhnya berbasis teknologi. Tapi, kami punya tenaga ahli yang hebat."
"Pasti Mas Steven salah satunya."
Steven langsung tersenyum. "Tepat."
Di seberang sana Keke mengangguk dan melihat melewati punggung Steven. "Kayaknya apartemen Mas Steven bersih banget, bersihin sendiri kayak waktu di sini atau sewa tenaga khusus?"
Steven melihat sekeliling. "Membersihkan sendiri dan juga menyewa tenaga khusus. Kenapa? Kamu takut akan kumintai tolong bersih-bersih di sini?"guraunya.
Keke berdecak. "Sori, ya. Saya enggak mau bersih-bersih di rumah pacar, memangnya saya dibayar?"
Tawa Steven berderai. Namun, belum sempat dia bicara, Keke kembali menyambung.
"Jangan nyuruh saya, ya, awas!"
Sekarang Steven benar-benar terbahak, meski dia tetap elegan menutupi mulutnya dengan tangan. "Ya ampun, Ke. Aku tidak akan menyuruh kamu, jangan khawatir, oke?"
Keke cemberut. "Saya sebetulnya enggak keberatan bersihin rumah, kalau misalnya saya nikah nanti, ya, maunya sih kerja sama. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tapi kalau masih pacaran, nurut sama pacar itu rasanya aneh, lebay. Belum waktunya aja. Kan belum ada komitmen yang solid?"
Steven mengangguk setuju. "Kamu benar."
"Makanya, Mas Steven jangan suka ngatur-ngatur saya, ya. Saya enggak suka bertengkar, tapi biasanya juga enggak takut bersikap tegas."
"I can see that."
"Bagus!"
"Tapi, Keke, kalau apa yang kuinginkan adalah sesuatu yang bagus, apa kamu akan tetap menentang hanya karena tidak suka diatur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Simple Love
RomantikSteven Darmawan, pelaku ekonomi. Seorang pria sukses yang terlihat ramah dan karismatik meski sebetulnya arogan, perfeksionis, egois, dan sering merasa tidak nyaman dengan banyak hal, serta mencintai uang lebih dari apa pun. Dia tidak mengira akan j...