Met malem ....
Adakah yang nunggu apdetan Senin?
Kalo ada, pliss cekidot.
Note; udah mau akhir bulan, udah nabung, kan? Sang Penantang Badai udah hampir mulai Pre-order. Oce?
*****
Keke bergegas masuk ke dalam mobil yang pintunya dibukakan Steven dari dalam. Dia melihat sekeliling dan mengembuskan napas lega saat yakin tidak satu pun tukang ojek pangkalan di situ yang memperhatikan mobil Steven. Tentu saja Steven heran melihat kelakuannya.
"Pagi, Keke. Sepertinya cemas sekali, ada apa?" tanyanya dengan nada lembut yang disukai Keke.
Keke menoleh. "Pagi, Mas. Iya, saya takut kalau Mas Steven dimarahi sama tukang ojek karena jemput saya di sisi ini. Kadang mereka suka salah sangka, mobil pribadi juga dianggap ojek online," jawabnya serius.
Steven termangu sejenak, lalu tawa pun terlepas dari bibirnya. "Astaga, Keke. Mana mungkin mereka mengira ini ojek online?" katanya, meski tidak meneruskan kalimatnya, khawatir terkesan sombong. Meski pada dasarnya dia memang sombong.
Memang dasar Keke, mana ada ojek on-line yang menggunakan mobil mahal dengan bahan bakar boros seperti ini? Bisa rugi mereka.
"Beuh ... Mas Steven enggak tahu aja, saya pernah lihat sendiri kok, ada bapak-bapak yang hampir dikeroyok mereka gara-gara dikira ojol, padahal cuma jemput anaknya. Maunya mereka, ojol itu ngambil atau nge-drop penumpang di sana, tuh, yang ada barisan ojol juga."
"Oh, begitu?"
"Iya. Untung bapaknya enggak kenapa-kenapa, tapi ya itu, saya jadi harus ke klinik sebentar."
Steven menoleh kaget. "Lho, kenapa kamu malah harus ke klinik?"
Keke mengangkat bahu. "Karena kepala saya sempat kena pukul helm waktu narik bapak itu. Tapi karena teriakan saya kencang banget, mereka langsung berhenti. Ngeri juga kali, lihat kepala saya berdarah lumayan banyak. Hehehe."
Steven melongo. "Kenapa kamu harus menarik orang itu? Bahkan sampai kepala kamu kena? Itu kan konyol?"
Keke menoleh dan memberinya lirikan tajam. "Terus saya harus diam saja lihat bapak-bapak tua dikeroyok? Itu namanya enggak punya hati, bisa menolong tapi diam saja," katanya lugas.
Steven termangu, sangat tidak setuju dengan Keke tapi ekspresi gadis itu yang galak membuatnya ragu untuk membantah. Bagaimanapun, karena kebaikan hati Keke dia akhirnya bisa mengenal gadis baik dan jujur itu, yang membuatnya merasa nyaman sekaligus riang tiap kali bertemu.
"Kita itu makhluk sosial, Mas Steven. Kita dituntut untuk peduli satu sama lain. Kalau kita hidup cuma mikirin diri sendiri, apa gunanya kita hidup?" imbuh Keke, lugas.
Steven tersenyum pahit. "Apa kamu masih akan bersikap sama kalau ada di posisiku, Ke?" batinnya.
Namun, dia tidak mengatakan apa yang ada di hatinya dan memilih untuk mengangguk singkat lalu mengarahkan mobilnya ke jalan besar menuju kantor Keke. Meski hanya sebentar, Steven senang bisa menghabiskan waktu pagi hari di perjalanan dengan gadis itu. Ada sesuatu pada diri Keke yang membuatnya ingin percaya. Keke terlihat tulus, paling tulus dari semua yang pernah dijumpainya. Steven sungguh berharap, gadis itu tidak akan pernah berubah, meski di satu sisi, dia juga mengkritik ketulusan Keke yang menurutnya keterlaluan. Akan mudah bagi siapa saja untuk memanfaatkan kebaikan hatinya, dan Steven tidak rela.
*******
"Aku mungkin akan meeting sampai sore nanti, jadi tidak bisa menghubungi kamu. Tapi kalau kamu butuh apa pun, telepon saja, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Simple Love
RomanceSteven Darmawan, pelaku ekonomi. Seorang pria sukses yang terlihat ramah dan karismatik meski sebetulnya arogan, perfeksionis, egois, dan sering merasa tidak nyaman dengan banyak hal, serta mencintai uang lebih dari apa pun. Dia tidak mengira akan j...