Tiga Puluh Empat

10.4K 2.4K 339
                                    

Yuhuuu...
Akhirnya setelah coba dan coba lagi, Steven-Keke indehaus! Entah ada apa dengan Wattpad, atau gawai eike yang udah mesti ganti. Ehem!

So, ada info buat kalian yang suka sama tokoh di cerita eike, ada Spin Off Stories mereka ya. Kamu bisa dukung lewat paket ataupun satuan di Karyakarsa.

Yang tergabung di Paket Spin Off Stories ada 4 cerita;

Meghan Barry - Silencio
Pandu Arini-Yemima
Padma Ferdian- Seleksi Ayah
Sheina Kenneth-His Darkest Side.

Semua cerita oneshoot, jadi langsung selesai dan kalau dukung lewat paket lumayan lebih hemat.

For now, cekidot.

****

Steven menarik kausnya hingga menutup dengan sempurna. Senyum tercipta di bibirnya yang merah segar. "Sudah selesai, Ke? Kita makan sebentar lagi, ya, makanannya belum sampai." Dia melangkah ke kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin lalu mengambil dua gelas dari dalam lemari yang susunannya kembali membuat Keke ternganga. Rapi banget! "Duduk di sini, Ke," pintanya sambil menunjuk ke bangku berkaki panjang di meja dapur.

Keke menurut dan duduk di bangku, menghadap Steven yang menuang air ke gelas dan memberikan salah satu gelas kepadanya. "Uhm ... Mas Steven sudah mandi?" tanyanya.

Steven menggeleng. "Belum. Aku berniat untuk berenang dulu, baru mandi. Kenapa? Mau gabung?" godanya.

Keke mengedip cepat, lalu bibirnya mengerucut. "Mas Steven!"

Steven tertawa. Saat itu bel berbunyi dan Steven bergegas menuju ke pintu lalu kembali dengan satu tas besar berlogo restoran terkenal. "Kita makan," katanya. Dia menggeleng saat Keke hendak turun untuk membantu menyiapkan. "Kamu di situ saja, kali ini aku yang akan melayani semuanya."

Keke menggaruk pipinya. Dalam hati dia bertanya-tanya, Steven memang tidak ingin dibantu, atau hanya tidak ingin barang-barang di rumahnya berantakan karena Keke? Sepertinya alasan kedua paling cocok, hehehe.

"Aku harap kamu suka dengan makanan ini, Ke. Lain kali aku janji akan memasak untukmu," kata Steven semringah.

Keke mengerjap, tercerabut dari pikirannya sendiri. "Mas Steven bisa masak?"

Steven mengangguk. "Meski mendapat beasiswa, biaya hidup di Amerika tidak sedikit. Aku harus bekerja keras agar bisa hidup, Ke, jadi aku bekerja serabutan, salah satunya dengan menjadi tukang masak di sebuah yayasan yang melayani para gelandangan. Gajinya sedikit, tapi lumayan."

"Mas Steven pernah hidup susah?" Keke hampir tak percaya.

Steven meletakkan sepiring daging steik dan kentang tumbuk di depan Keke, sebuah senyum terulas di bibirnya. "Memangnya, menurut kamu aku tidak pernah hidup susah?" Dia balik bertanya.

Keke mengangkat bahu. "Penampilan Mas Steven kan enggak seperti orang susah, dan saya juga hampir enggak tahu apa-apa soal Mas Steven," jawabnya jujur. "Saya pikir Mas berasal dari keluarga yang kaya tujuh turunan, atau dari kalangan konglomerat."

"Itu betul. Ayahku termasuk salah satu dari kelompok kecil orang kaya raya di Indonesia." Steven membenarkan.

"Lho? Terus kenapa Mas Steven pernah hidup susah?" Keke kebingungan.

Steven tersenyum tipis. "Aneh, bukan?"

"Iya, aneh. Mas Steven, yang betul mana nih? Mas pernah susah, atau Mas anak orang kaya?"

"Keduanya benar."

"Tapi ...."

"Tidak perlu dibicarakan sekarang, karena bicara tentang keluargaku hanya akan membuatku tidak bernafsu untuk makan. Kita makan dulu saja, ya?"

A Simple LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang