Enam

19.8K 3.4K 290
                                    

Met Senin pagi!

Eike mau ganti waktu tayang buat Keke-Steven jadi ke Senin ya. Seneng, kan?

Enjoy.

******

Gadis itu punya ekspresi yang murni, senang ataupun tidak, terlihat langsung di wajahnya. Sama sekali tidak bersusah payah menutupinya. Sangat berbeda dengan Steven yang bisa tersenyum manis meski merasa jengkel luar biasa, dan bicara dengan nada lembut meski kemarahan sudah di ubun-ubun, tergantung siapa yang dihadapi. Keke ... sosoknya seperti buku terbuka, membuat Steven mudah membaca dan senang mempelajari setiap perubahan di wajahnya.

Rasanya seperti bertemu dengan oasis di padang gurun, karena semua orang yang dikenalnya kebanyakan memakai topeng. Sama sepertinya. Topeng keramahan, profesionalisme, kepedulian, tetapi tidak satu pun yang benar-benar seperti kelihatan. Menemukan sosok yang murni seperti Keke bagai mendapatkan harta berharga, dan Steven sadar, dia tidak ingin keduluan. Gadis itu harus jadi miliknya.

Jatuh cinta ataupun tidak, memiliki pasangan dengan karakter apa adanya akan membuat dia merasa tenang. Tidak harus menerka apa yang ada di kepala Keke, cukup bertanya dan gadis itu akan langsung menjawabnya. Aneh sebenarnya, di zaman sekarang masih ada orang yang memilih untuk hidup dengan cara begitu, tapi Steven beruntung karena bertemu dengannya.

Teringat kembali pada makan siang kemarin, Steven yang sempat kesal karena keterlambatan Keke, dan hampir meninggalkan tempat itu kalau bukan karena etika, langsung merasa terhibur melihat wajah cemberut gadis itu yang imut. Bukannya menyesal karena sudah terlambat, atau setidaknya pura-pura, Keke malah terkesan ingin meledak karena jengkel harus bersusah payah menemuinya. Bukan main.

Padahal, selama ini bukan hal mudah bagi seorang perempuan mendapatkan waktu Steven yang berharga.  Dia sibuk, terlalu sibuk untuk bisa mengobrol santai dengan perempuan mana pun terutama di jam kerja. Keke yang mendapatkan kesempatan itu malah terkesan ingin menggigit Steven gara-gara dia harus antri di Transjakarta. Lucu. Benar-benar menghibur.

Begitu makanan dihidangkan pun, reaksi Keke tak terduga. Makanan mahal yang mengesankan semua perempuan yang pernah diajaknya, tetapi hanya mereka cicipi sedikit karena takut terlihat rakus, malah dibilang asing oleh Keke. Namun, tanpa ragu gadis itu menghabiskan bagiannya. Ekspresi Keke saat menunjukkan rasa suka pada minuman yang dia pesan juga tak ternilai. Tidak ada yang ditutupi. Ah ... baru sehari berlalu, tapi kenapa dia ingin melihat wajah lucu itu lagi?

Hm ... apa yang membuat Keke tidak segera menghubunginya? Padahal, dia sangat menunggu teleponnya. Dia tidak ingin kelihatan memaksa, tapi kalau gadis itu tidak juga memberinya sinyal hijau, mau tak mau dia akan langsung bertindak.

Oh, ya, Keke suka pada minuman itu, kan? Berry Powerful. Apakah karena ada rasa buah, yogurt, atau ... milkshake-nya? Atau semua? Apakah dia perlu memesan cokelat berbeda dengan sebelumnya untuk dikirim hari ini? Cokelat yang rasanya mengandung unsur buah atau yogurt?

Diraihnya tablet dan digulirnya untuk mencari referensi merk cokelat yang kira-kira akan sangat disukai Keke. Hm ... ada satu. Ditekannya tombol interkom untuk memanggil asistennya, dan pria muda yang sigap itu langsung masuk dengan catatan di tangannya.

"Ada yang perlu segera dilakukan, Pak?" tanyanya dengan nada datar.

Steven mengangguk. "Kirimkan cokelat ke orang yang sama hari ini, tapi saya mau merk berbeda. Ini." Dia menyodorkan tabletnya. Ada gambar iklan cokelat berasal dari Jerman dengan kotak berbentuk kubus di situ.

Asistennya menjenguk dan membaca sejenak. "Ritter sport schokowurfel. Baik. Bapak ingin kotaknya dibungkus seperti apa?"

Steven berpikir sejenak. "Karena kotaknya kubus dan berwarna putih dan pink, bungkus dengan kertas premium doff warna hitam dan pita satu inci baby pink. Buat ikatan pitanya berbentuk bunga dengan lipatan yang banyak."

A Simple LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang