Lima Belas

15.3K 2.8K 125
                                    

Met sore jelang malam, mentemens!
So, gimana hari kalian? Berat? Sama. Situasinya memang begini, kita cuma bisa beradaptasi dan melakukan yang terbaik untuk bisa mengatasinya. Oce? Tetap semangat, ya.

Buat sedikit menghibur kalian, nih eike ajak Keke dan Steven.

*******

Keke memandangi pantulan dirinya di cermin sambil tak habis pikir. Apa yang dilihat Steven dalam dirinya? Baik wajah, bentuk tubuh, bahkan penampilannya secara keseluruhan, tidak ada yang benar-benar menonjol. Kalau harus disandingkan dengan pria metroseksual itu, jelas Keke bukan padanannya. Jadi, apa alasan Steven menyatakan suka?

"Kok bingung, Ke?" Fey yang malam itu menginap di rumah Keke bertanya sambil mengeringkan rambutnya. Dia duduk di ranjang dan menatap Keke.

Keke menghela napas. "Soal cowok yang gue omongin waktu itu, dia masih rutin ngasih kado cokelat dan terang-terangan ngomong suka, Fey. Gue bingung," sahutnya.

Fey mengerutkan kening. "Yang langsung ngajak makan siang bareng? Kok bingung? Lo suka juga, enggak?"

"Belum tahu. Kan gue baru kenal sama dia, makanya, kecepatan enggak, sih?"

Fey berpikir sejenak. "Lo bilang dia lama di luar negeri, kan? Mungkin emang budaya di sana begitu. Waktu merasa tertarik, langsung gaskeun."

"Mungkin."

"Ya udah, sekarang kan tinggal elonya? Kalau suka, cuss, kalau enggak, ya bilang."

"Kan gue udah ngomong barusan, gue bingung. Namanya juga baru kenal, gimana tahu suka atau enggak?"

"Enggak usah bingung, kali. Lo punya rasa tertarik sedikiiit aja, enggak?"

Keke mengangguk. "Iyalah. Gantengnya pake banget, wanginya enak, kayaknya parfumnya mahal, jadi enggak bikin eneg, orangnya juga bersih banget, gemes lihatnya, plus ... gentleman sejati."

Fey nyengir. "Berarti sukanya elo lebih ke fisik, ya? Ya udah, berarti lo tertarik juga. Cuss deh."

"Tapi, apa enggak terlalu dangkal? Masa terima cowok cuma karena ketertarikan fisik aja?"

"Lah ... baru terima rasa suka, kan? Kalau ternyata enggak cocok, bisa langsung say bye."

Keke mengembuskan napas berat. "Memang bisa segampang itu? Tapi ... kok kayaknya gue gamang, ya, Fey?"

"Gamang kenapa?"

"Uhm, itu. Dia itu terlalu sempurna buat gue, Fey. Too good to be true, kalau kata orang. Biasanya yang terlalu bagus untuk nyata, enggak bener-bener nyata, kan?"

Fey mengangguk setuju. "Memang, sih. Enggak ada salahnya lo hati-hati begitu. Tapi, mending lo tahu salah terima cowok itu setelah jadian sebentar, Ke, daripada nyesel kalau enggak coba sama sekali. Yang penting, jaga diri, jangan mau diapa-apain, rugi. Dia kan kelamaan hidup sama bule, takutnya gayanya kayak bule kalau pacaran. Jangan mau diajak ena-ena."

Keke mengangkat alis tinggi-tinggi. "Ena-ena?"

Fey cengengesan. "Ngeseks. Lebay ah, gitu aja enggak tahu."

Keke membelalak. "Dih! Enak aja, ngeseks, memangnya gue cewek apaan? Gue setrum dia baru tahu rasa!"

Fey terbahak-bahak. "Astaga! Galak sekali perempuan satu ini, hihihi." Dia bangkit dan menggantung handuk di tempatnya. "Enggaklah, Ke. Kalau dia memang biasa dengan adat bule, biasanya justru menghargai cewek. Kalaupun ada seks dalam hubungan, ya, pastinya konsensual. Dua-duanya mau. Kalau lo enggak mau, ya enggak masalah."

Keke mengerucutkan bibirnya, sebal. "Kok gue malah ngebayangin, ya?"

Fey menoleh cepat. "Ngebayangin ngeseks sama dia?" tanyanya kaget.

A Simple LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang