Dua Puluh Lima

12.3K 2.8K 201
                                    

Met Senin pagi!

Pasti yang udah nunggu Keke-Steven seneng deh mereka apdet pagi-pagi, hehehe. Ge-er dikit boleh kan? So, sebenernya eike lagi nyoba bales komen kalian di bab sebelumnya, tapi astagaaaa! Susah bets! Bolak-balik bae dah Wattpad, error kayaknya. Yo wes, pokoke kalian tahu aja ya, eike berhasil baca semua komen dan makasih banyak buat kalian yang suka sama cerita ini. Kalian seneng bacanya, eike seneng apdetnya.

So, met baca dan ikutin deh cerita mereka yang semoga bikin kalian semangat!

******

Keke buru-buru menyelipkan tubuhnya di antara penumpang kereta yang masih padat dan sepenuhnya terkumpul di pintu, bersiap-siap akan turun di stasiun Cawang dan Tebet. Karena bertubuh mungil, dia sering terbawa arus penumpang turun dan hampir tertinggal kereta saat pintu menutup. Makanya, akan lebih aman kalau setidaknya dia bisa masuk ke bagian dalam sedikit. Kadang-kadang dia beruntung mendapatkan tempat duduk meski biasanya dia lebih suka menyerahkan kepada orang lain yang tidak seberuntung itu.

"Duduk, Mbak," seorang penumpang pria yang melihatnya mendekat langsung berdiri.

Keke mengangguk dan berterima kasih. Namun, saat dia sudah duduk, dilihatnya seorang penumpang yang berdiri sedikit jauh sedang menyeka keringatnya dengan wajah memucat. Beberapa kali Keke bertemu dengannya, dan menduga penumpang itu naik dari Bogor atau stasiun lain yang jauh tapi karena posisi berdirinya tidak strategis, makanya dia tidak juga mendapatkan tempat duduk. Dengan senyum lebar, Keke melambai kepadanya.

"Mbak ... hai, halo! Wah ... sudah lama enggak ketemu. Sini ... bisa ke sini, enggak?" tanyanya.

Perempuan itu memandangnya dengan heran, tapi untuk sopan santun, dia berusaha mendekati Keke juga. "Mbak siapa, ya? Saya agak-agak kurang ngeh soalnya," katanya ragu.

Keke menyeringai. "Saya Keke, kita berapa kali ketemu di gerbong ini, kok," sahutnya. Dia berdiri dan menghela perempuan yang lebih tua itu untuk duduk. "Duduk, Mbak, tadi saya dikasih sama mas ini, nih, yang baik banget."

Si perempuan yang disuruh duduk terlihat lega, sedangkan pria yang memberi duduk tersenyum semringah.

"Mbaknya enggak duduk?"

Keke menggeleng. "Saya baru naik, turunnya juga enggak jauh, bisa di Juanda atau Gondangdia. Kalau Mbak kayaknya lebih jauh."

Perempuan itu mengangguk. "Iya. Saya turun di Beos."

"Nah ...."

"Makasih, ya, Mbak."

"Sama-sama. Sebentar ...." Keke mengambil ponselnya dari dalam tas, dari tadi dia merasakan getaran tanpa henti dari benda itu tapi baru punya kesempatan untuk memeriksanya sekarang. Saat membukanya, dia membelalak, banyak sekali notifikasi komentar di medsosnya. Kotak pesannya juga penuh permintaan pesan dari berbagai akun yang sama sekali tidak dikenal. Ih ... apa-apaan, sih, dia kan bukan seleb?

Ditelusurinya satu demi satu komentar dan diceknya kotak pesan. Rata-rata isinya mirip, mempertanyakan siapa dia dan apa hubungannya dengan kekasih Devara. Beberapa bertanya apakah akunnya adalah akun pribadi Devara, dan beberapa mengatainya pelakor. Hm ... ini apa-apaan, sih? Apa mungkin gara-gara postingan Steven? Berarti ....

*******

Keke mengerutkan kening melihat mobil Steven yang sudah parkir di tempat biasa dia menjemput. Pria itu bersandar di pintu mobil dan langsung tersenyum saat melihatnya. Sebuah perasaan tak nyaman muncul, bagaimana kalau ada yang mengenali pria itu dan melihatnya bersama Keke? Bisa-bisa Keke betul-betul dicap pelakor nanti. Buru-buru dia pun mendekat dan tanpa menyapa, langsung masuk ke mobil yang pintunya dibukakan Steven. Ucapan terima kasih pun dibisikkannya saat sudah di dalam dan Steven sudah berada di belakang kemudi.

A Simple LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang