Bab 14

105 9 1
                                    


Bab 14

Indri dan Suster Marini (Sekitar tengah tahun 1983. Jam 20:00 – 21:00. Ruang Tamu. Kamar tidur anak-anak)

Yohan dan Ayudisa saat itu sudah memiliki 4 orang anak :

Abyasa yang berumur 6 tahun , Indri (Semua keluarga Yohan dan para pembantu rumah memanggilnya "Nonik" , yang berarti "gadis kecil") yang berumur 4 tahun , Istari yang berumur 2 tahun , dan Adiguna yang berumur 3 bulan.

Ayudisa merasa kerepotan untuk merawat keempat anaknya sambil bekerja membantu suaminya , maka Ia pun memperkerjakan 1 "Suster" (Baby Sitter) untuk membantunya menjaga anak-anaknya.

Nama suster itu adalah Suster Marini.

Ia berperawakan pendek dan berambut ikal berwarna hitam.

Abyasa dan Indri sudah cukup besar untuk bisa bermain dan mandi sendiri , jadi Suster Marini biasanya hanya membantu menjagakan Istari dan Adiguna yang masih sangat kecil umurnya.

Ia hanya kadang-kadang membantu menidurkan Indri yang suka ditemani jika Ia mau tidur.

Malam itu ; Harini , Yohan , dan Ayudisa pergi menghadiri acara pesta pernikahan salah satu saudara sepupu Yohan , di restoran yang berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah ini.

Mereka berpesan kepada Suster Marini untuk menidurkan anak-anak (Kecuali Abyasa) sebelum jam 20:00

Jam tua di ruang makan sudah menunjukkan pukul 20:00.

Istari dan Adiguna sudah tertidur lelap sejak 1 jam yang lalu.

Abyasa yang baru saja selesai mengerjakan PR-nya , juga akhirnya tertidur beberapa menit kemudian di dalam kamar tidur Harini.

Suster Marini mencoba menidurkan Indri dengan menepuk-nepuk bagian pantatnya berkali-kali secara pelan-pelan.

Indri tidak kunjung tidur juga.

Suster Marini mulai merasa agak capek dan mengantuk.

Mereka berdua akhirnya tertidur.

Suster Marini tiba-tiba terbangun oleh suara langkah-langkah kaki di ruang tamu.

Ia juga mencium bau anyir darah dan busuk dari bagian luar pintu kamar tidur.

Suster Marini merasa bulu kuduknya berdiri.

Terdengar lagi suara seperti ada orang yang berlari-larian di ruang tamu.

Bau busuk dan anyir darah itu semakin pekat tercium.

Tiba-tiba , ada suara seperti kuku – kuku jari yang disayatkan di kaca jendela kamar tidur yang berhadapan dengan kebun rumah.

Suster Marini melihat ada bayangan hitam yang berdiri dan mengintip dari luar jendela kamar.

Mata nya putih kekuning-kuningan.

Jantung Suster Marini berdegup amat kencang sampai dadanya terasa ngilu.

Suster Marini baru saja memalingkan wajahnya dari arah jendela kamar itu , ketika Ia menyadari bahwa ada yang membuka pintu kamar tidur ini dengan perlahan-lahan.

Pintu kamar tidur ini dibiarkan terbuka hanya beberapa centimeter saja.

Suster Marini melihat ada wajah sosok laki-laki yang bermata merah dan berwajah pucat , sedang mengintip ke dalam kamar tidur.

Sosok laki-laki itu meringis melihat Indri , Istari , Adiguna yang sedang tidur lelap di ranjang.

Ketika sosok laki-laki itu melihat Suster Marini , matanya menjadi terbuka lebih lebar dan mulutnya mengeluarkan suara geraman yang parau.

Suster Marini belum sempat menjerit ,ketika pintu kamar tidur itu sudah dibanting tertutup dengan amat keras.

Istari dan Adiguna tidak terbangun oleh suara pintu yang dibanting dengan keras itu.

Indri merasa kaget dan terbangun.

Ia langsung berkata "Sus , itu papa mama wes pulang . Bukakno pintu'e , sus. Aku mau kuar" (Sus , itu papa mama sudah pulang . Bukakan pintunya, sus. Saya mau keluar).

Suster Marini menjawab dengan suara yang gemetar dan penuh ketakutan, "Nik, ojok liak ke luar. Iku bukan papa mama. Tidur'o. Cepetan tutupen matamu" (Nik, jangan lihat keluar. Itu bukan papa mama. Tidurlah. Cepatlah menutup matamu).

Pintu kamar tidur tiba-tiba terbuka dengan lebar.

Suster Marini melihat dengan ngeri.

Sosok laki-laki itu merangkak masuk ke dalam kamar tidur dengan perlahan-lahan.

Ia langsung memeluk Indri dan menutup matanya , sambil berteriak "Nikkk, Ojok liak!!! Itu bukan papa mamamu!!! Itu setan!!! Ojok liak!!!" (Nikkk, jangan lihat!!! Itu bukan papa mamamu!!! Itu setan!!! Jangan lihat!!!).

Indri yang ketakutan , juga memeluk erat badan Suster Marini.

Sosok laki-laki itu berhenti di ujung ranjang dan meringis lebar.

Suster Marini menangis ketakutan sambil memeluk Indri lebih erat.

Ia bisa mencium bau busuk di kamar tidur ini.

Bau busuk yang bercampur bau anyir darah.

Sosok laki-laki itu tertawa terkekeh-kekeh.

Suster Marini terus memeluk Indri erat-erat.

Ia merasa sangat ketakutan dan tidak sanggup untuk berdiri atau berlari keluar dari kamar tidur ini.

Ia menengokkan wajahnya ke arah ujung ranjang.

Sosok laki-laki itu terlihat sedang berjongkok di ujung seberang ranjang.

"Ia" hanya mengamati mereka berdua sambil tersenyum lebar dan matanya terbuka lebar.

Tidak berkedip sekalipun.

Menatap mereka berdua tanpa bergerak.

Suster Marini mencoba memejamkan matanya selama beberapa detik.

Ia membuka matanya kembali dan melihat ke ujung seberang ranjang.

Sosok laki-laki itu masih berjongkok disana.

Masih tersenyum lebar dan tidak bergerak , memandanginya.

Mata nya tidak berkedip.

Suster Marini merasa sangat ketakutan.

Ia menangis dan memeluk erat tubuh Indri sambil berbaring di atas ranjang.

Bajunya basah terkena air mata Indri yang menangis ketakutan.

Suster Marini tetap memeluk erat tubuh Indri.

Perlahan-lahan , akhirnya mereka berdua tertidur sampai pagi hari.

Keesokan paginya , sekitar jam 05:30 , ketika Suster Marini bangun dari tidurnya , sosok laki-laki itu sudah tidak ada disana.

Ia segera turun dari ranjang dan berlari menuju kamar tidur pembantu rumah.

Suster Marini langsung menceritakan apa yang Ia alami kemarin malam kepada para pembantu rumah.

Mereka semua tidak percaya dengan cerita Suster Marini dan menganggap bahwa Suster Marini pasti sedang bermimpi buruk kemarin malam.

Tetapi Suster Marini tahu bahwa itu bukanlah mimpi buruk yang Ia alami semalam , karena terdapat bekas cengkeraman jari – jari tangan bewarna kebiru-biruan di bagian paha kakinya. 

Rumah 9 HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang