Setelah beberapa menit berlalu terjadi keheningan di ruangan serba putih ini, akhirnya Allea membuka suaranya.
"Harapan hidup saya sekitar berapa tahun lagi?" lirih Allea, sedangkan Dokter di hadapannya menghela nafas.
"Dimana orang tuamu? Saya perlu bicara." Mulut Allea terkatup seraya menggeleng kuat.
Memang, Allea datang ke rumah sakit sendirian tanpa di dampingi siapapun. Awalnya Kakek Allea siap mengantar, tapi Allea kekeuh tidak memperbolehkan Pahlevi untuk ikut.
Dokter di hadapan Allea berdehem lalu berdiri, seraya membaca hasil laboratorium di tangan kirinya.
"Kankermu kronis, Allea. Walaupun perjalanan sel kankernya lambat, tapi ini cukup berbahaya."
Manik mata Allea bergerak gusar. "Jadi bagaimana?"
Sang Dokter menghela nafas beberapa kali. Allea menatap Dokter di hadapannya dengan tatapan sayu. Ketakutan Allea semakin menjadi kala sang Dokter menjulurkan kertas laboratorium.
"Karena kau masih muda, dan kankermu masih stadium 2 tubuhmu mampu bertahan 4 sampai 5 tahun lagi."
Tubuh Allea bergetar, telapak tangan Allea terasa dingin. Ketakutan akan kematian menyeruak di dadanya.
"Tapi itu semua kembali kepada yang maha kuasa, berdoa dan terus berusaha, Allea!" tegas Dokter itu seraya memberikan senyuman hangat.
"Mulai sekarang jaga pola hidup dan kondisi mentalmu, perbanyak olahraga dan jaga pola makan jangan sampai telat."
"Mental?" tanya Allea seraya mengerutkan keningnya, apa mental juga memengaruhi ini semua? Pantas saja saat Allea tau hubungan Papanya dan Syera penyakit Allea kambuh.
Disaat itu, rasanya Allea ingin menyerah. Menyerah pada segalanya. Putus asa Allea putus asa saat itu.
"Iya, Allea. Mental juga mempengaruhi kesehatan, jadi jangan terlalu stress, okey?" Allea kembali mengangguk paham.
"Iya, terima kasih, Dok."
Allea beranjak pergi setelah mengucapkan terima kasih, kaki-kaki Allea melangkah gontai meninggalkan halaman rumah sakit menuju halte bus terdekat.
Tangan Allea mencengkeram kuat kertas yang ada di tangannya. Kadang Allea bingung pada dirinya sendiri, ada kalanya Allea ingin cepat sembuh dan sebaliknya terkadang Allea ingin menyerah saja.
"Pelan tapi pasti," lirih Allea sebelum memasuki bus berwarna biru yang berhenti beberapa menit lalu.
Allea yang menggunakan topi rajut di kepalanya nampak pucat, hingga beberapa penumpang melihat Allea aneh.
"Mbak sakit?" tanya laki-laki bermasker yang Allea ketahui sebagai asisten sopir.
Satu anggukan Allea lolos, beberapa orang menoleh pada Allea yang berada di belakang.
"Mohon maaf, mbak! Lebih baik mbak keluar saja, demi kesehatan bersama."
Mata Allea membulat, apa orang di hadapannya mengusir dirinya?
"Kenapa Pak? Saya juga penumpang di sini," ucap Allea seraya mencengkeram besi penyangga di sampingnya.
"Saya tau, tapi maaf Mbak! Ini sudah jadi prosedur di sini. Karena saat ini banyak virus yang menyebar, berhubung mbak lagi kurang sehat, demi kebaikan bersama mbak keluar saja," ucap orang itu ramah. Beberapa orang nampak mengangguk setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLEA: Thank You, Ka!
Teen FictionAllea tidak pernah mengetahui, bahwa dikhianati oleh orang-orang di sekitarnya akan begitu sangat menyakitkan. Allea kekurangan kasih sayang. Satu persatu orang-orang yang ia anggap penting, mengabaikannya. Bahkan satu-satunya alasan untuk dirinya...