Satu.

2.2K 141 38
                                    

Ruangan itu selalu rapi sebagaimana mestinya, karena empunya suka keteraturan. Apa pun. Harus tertata. Selain nantinya enak dipandang, saat diperlukan, dia akan tahu setiap benda letaknya di mana, takkan butuh waktu lama.

Setiap detik yang berlalu, baginya amat berharga. Tidak bakal bisa ditarik mundur atau diulang.

Semua hal yang dilakukannya tepat sesuai porsi. Tidak terburu-buru. Tidak lambat. Sudah seperti yang diperkirakan sebelumnya. Dari dulu, sampai sekarang. Tiap bagian akan diselesaikan secara baik, kalau perlu, sampai sempurna.

Oleh karena itu, saat mendapati sebuah nama ikut serta dalam pelantikan yang akan dihadiri beberapa menit ke depan, dia merasa seseorang tengah menikam ulu hatinya.

Bulir-bulir air menitik dari tengkuk, ketika ponselnya diletakkan kembali. Dia kesal bukan karena belum kering benar juga masih mengenakan bathrobe, tapi sebuah nama yang dilaporkan sekretarisnya tadi.

Semua harusnya tidak begitu mengejutkan, tapi nyatanya? Dia bahkan yakin, semua rasanya sudah dikerjakan dengan baik dan tepat.

Dia menghela. Kembali ke kamar mandi, menyelesaikan semua dengan cekatan. Berikutnya sudah mengenakan setelan rapi nan licin, menghampiri supir sigap yang siap menunggu di parkiran.

"Sepuluh menit, tuan Ahn," ujarnya meniti jam tangan.

"Bisa saya buat hanya tujuh, tuan Muda."

"Lebih bagus," balasnya seraya mengancing sabuk pengaman, lalu mobil itu pun berjalan pergi dengan lembut, tapi pasti.

.

Kilau seluruh kamera dari pers, tidak melunturkan ketegasan dari wajahnya. Hanya seulas tipis senyum yang layak diberi. Formalitas. Toh, kehadirannya saja sudah cukup membuat para media senang. Tanpa perlu pamer gigi seperti orang di sebelahnya, dia sudah bersinar.

Kemudian dia angkat kaki, setelah semua cara monoton dalam peresmian selesai, tidak ada lagi yang harus dilakukannya di sana.

Gedung sialan yang sudah dikerjakannya selama tiga bulan terakhir, malah bukan menjadi wewenangnya.

Bajingan.

"Hei. Kenapa buru-buru?"

Si brengsek itu menahan lengannya. "Lepas."

"Aku rindu. Makan siang, mungkin?"

Dengan kuat ditariknya lengan sampai terlepas, berpaling begitu saja, tapi kurang ajar, pinggangnya direngkuh begitu mudah dan mereka dipaksa berimpitan.

"Breng—"

"Kau masih sama cantiknya, kak. Aku rindu padamu, tahu," bisiknya, seketika menguarkan aroma musk dan bergamot yang menusuk.

Dia meronta, mendorong dada dan bahu itu. "Lepaskan aku, begundal tengik," geram. Dia muak, tapi sialnya usaha jemari yang mendorong tubuh itu, nihil. Sejak kapan si brengsek jadi begitu besar? Sialan.

"Kalau aku tidak mau?"

"Lepas, kubilang." Jemari mencengkeram lengan di pinggang yang rasanya tambah menguat, jelas karena empunya menggeleng. Baiklah. Sadar jika semakin melawan, dia tidak bakal dilepas. Jadi, dia akan menunggu waktu yang tepat, sekalian mencari tahu.

"Kau sudah dapat yang kau inginkan. Sekarang, sebaiknya kau hentikan sikap amoral ini, atau kupatahkan hidungmu."

Senyum menghias di wajah itu. Jika para gadis menyukainya seperti kepala berita media gosip yang sering berlalu-lalang di linimasa, dia malah tambah mual melihatnya.

"Sudahkah kukatakan, kalau wajah marahmu ini membuatku tambah menyukaimu, kak? Tapi, tidak. Sayangnya, aku belum dapat yang kumau."

Dan, itu membuatnya mengernyit.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang