Dua puluh satu.

567 80 21
                                    

Kelopak mata berbulu lentik itu bergerak pelan membuka. Empunya selalu terbangun di jam yang sama tiap hari. Tubuhnya sudah punya alarm alamiah yang terbentuk semenjak sekolah. Kecuali, saat di desa itu. Semua kemampuan motorik yang tercipta untuk memenuhi kebutuhan pengaturan waktu, seolah rusak di sana dan hanya ingin menikmati kenyamanan yang ada.

Saat bergerak bangun, sesuatu yang keras membuat otot analnya menyempit naluriah dan seketika sadar. Jejak rekam aktivitas semalam, ternyata menolak keluar dari tubuhnya.

Seokjin mengerang seraya mendorong pinggang di belakangnya juga menarik tubuh sendiri agar terlepas, tapi dia berjengit kaget karena lengan yang melingkari perutnya mengeratkan tubuh mereka sampai ujung batang penis di dalam sana kembali menusuk titik lemah. Seokjin nyaris melepas urin yang mengumpul di kantung kemihnya.

" ... cukup, Namjoon. Aku harus ... mnh," erangnya ditahan dengan menggigit bibir bawah.

"Di bawah sana keras, bukan? Bisa sekali lagi, ya?" bisiknya di belakang telinga. Suara seraknya membuat Seokjin merinding nyaman, lalu kembali mencelat karena gerakan menusuk yang mendadak.

"Cukup, kubilang! Selesaikan urusanmu di kamar mandi. Aku—Namjoon!" Seokjin mencubit lengan di perutnya, tapi malah dia dibuat tengkurap. Tubuh besar yang tadi memeluknya menumpahkan seluruh bobot ke padanya sampai tak kuasa hanya menggigit bantal untuk meredam erangan keras.

Karena penis sialan di dalam sana menusuk sangat dalam sampai perut Seokjin kram.

Jemari lain mentautkan diri dengan jemari Seokjin, meremas lewat punggung tangan secara romantis. Namjoon tidak mengatakan apa pun dan hanya bernapas berat di tengkuknya sambil menggerakkan pinggang maju mundur. Kembali menabrakkan kulit mereka yang terdengar erotis.

Dengan posisi seperti itu, Seokjin hanya pasrah hingga Namjoon selesai. Dia sudah terlalu lelah dan menyadari dengan maklum kalau tempat tidur mereka kembali bertambah kotor karena pelepasan urin juga sperma baru. Saat sama-sama bernapas memburu walau tidak sekeras semalam, Namjoon membubuhi sekujur lehernya dengan kecupan manis. Sungguhan ingat untuk tidak memberi tanda terlalu banyak seperti kali terakhir, atau akan menimbulkan kecurigaan. Cukup sekali Seokjin harus mengenakan kaus berkerah tinggi di luar kebiasaan dan Namjoon lumayan kapok ditegur. Atau, mungkin dia sengaja menuruti agar tetap diizinkan senggama, entahlah. Seokjin tidak keberatan selama tetap mengikuti aturan.

Mereka pun berakhir mandi bersama kemudian. Tanpa adegan lanjutan, karena Seokjin mengancam akan menendang Namjoon keluar tanpa pakaian. Dalam bak mandi, mereka duduk berseberangan. Karena, Seokjin belum puas dengan jawaban Namjoon atas pertanyaannya.

"Kupikir, kita tak seharusnya mencampurkan urusan pribadi dan kerjaan? Berlaku sebaliknya juga, bukan?" Namjoon tersenyum padanya. Yang mana terasa menyebalkan. "Kenapa mencurigai kinerjaku yang bagus, Bos?"

Mereka bukan pertama kali saling telanjang, tapi toh, Seokjin berendam sambil memeluk diri dan merapatkan lutut ke perutnya. Sudah kebiasaan dan Namjoon menganggapnya lucu waktu itu.

"Apa pun yang berlebihan, tidak baik."

"Jadi, aku harus menurunkan performa?"

"Jangan."

"Lalu?"

Seokjin masih sulit menebak, bagaimana Namjoon menempuh pengalaman kerja selama berada di kediaman Yejoon, lalu, mendapati dirinya amat mumpuni saat bekerja di perusahaan yang dikelola Seokjin sebagai orang baru, sungguh membuatnya was-was dan tentu saja, rasa itu tak perlu Namjoon tahu.

"Apa ini bagian dari kalimatmu saat makan mie dingin waktu itu? Meniti karir tepat di depan hidungku?"

Namjoon membuat air di bak mandi meluap karena dia mendekati Seokjin. Senyum di wajahnya belum luntur dan tangan yang memegang kedua lutut Seokjin itu, membuat empunya menguarkan peringatan dari mata. Namjoon terkekeh. Dia berakhir merentangkan kedua lengan di sisi masing-masing bibir bak hanya untuk merapatkan ujung hidung mereka.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang