Enam belas.

524 85 39
                                    

Kepalanya berdenyut-denyut setelah memeriksa kliping laporan terakhir. Pangkal hidung dipijat pelan. Tak menurunkan tangan walau terdengar ketukan di pintu.

"Masuk," katanya tanpa ragu karena instingnya benar. Yang melongok dari balik pintu adalah si sekretaris.

"Janji pertemuan dengan tuan Jang ...."

"Aku perlu memikirkan ulang tawarannya. Atur ulang ke hari Jumat."

"Baik. Nyonya Beatrix sudah mengonfirmasi persetujuan. Dua apartemen yang tersisa akan dibeli sesuai harga yang disepakati."

"Bagus. Beritahu Jaechul untuk mengurus sisanya. Dia kuberi izin mengambil alih."

"Baik. Selanjutnya, janji temu dengan CEO Haemdal Corp. Beliau—"

Seokjin memukul muka meja secara tak sengaja ketika menurunkan tangan. Hoseok menelan ludah karenanya.

"Serius?"

"Sudah kukatakan jika tawaran kita batal, tapi beliau tetap ingin mendengarnya langsung darimu, Bos. Aku mana berani ...."

Seokjin mendesis. Sekretarisnya mengalihkan pandang ke kaki.

"Sambungkan aku setelah kau keluar."

"Baik, Bos."

" ... temani aku makan."

"Eh?" Seokjin mendelik. Hoseok segera menormalkan nada bicara. "Maksudku. Tentu saja, Bos. Akan kusiapkan kendaraan."

Seokjin membuang badan ke sandaran kursi. "Tak perlu. Pesan jjangmyeon di kedai seberang. Aku tak berminat pergi ke mana pun sekarang," katanya lalu memejamkan mata.

"Apa karena tumpukan berkas itu? Aku akan membantumu nanti, Bos. Tenang saja, tapi lihat di luar. Cuaca cerah dan udara sejuk itu sangat baik untuk menyegarkan pikiran. Sudah lama tak pergi ke kedai pak Min, bukan?"

Seokjin disinggung. Secara tak langsung diingatkan telah mangkir dari meja kerja kurang lebih sepuluh hari lamanya.

"Kinerjaku sangat mengecewakan, ya?"

"Hm? Yang bilang begitu siapa?"

"Jawab saja. Turunkan sikap formalmu sedikit. Sekarang jam makan siang. Katakan apa yang ingin kau katakan. Dari tadi pagi, sejak aku kembali, kau seperti siap menyemburkan segala uneg-uneg itu. Kuberi kesempatan. Sekarang. Sepuluh menit."

" ... sebenarnya, aku mau minta maaf karena kurang sigap memberimu informasi memadai dan harusnya aku segera mengirim bantuan begitu kabar darimu tertunda, tapi, keadaannya di sini, juga tak kondusif. Aku ...."

Seokjin membuka mata, menegakkan diri seraya melonggarkan tali dasi yang mulai terasa mencekik.

"Duduklah."

Hoseok menuruti, tatapan dan gerak tubuhnya mendekat seolah mereka hendak mengatakan hal rahasia. Seperti halnya akan ada yang menguping ke dalam ruang kerja megah yang segan dimasuki kalau tak diberi izin.

Seokjin tahu takkan ada yang berani melakukan itu di depan hidungnya, jadi dibiarkannya gestur Hoseok demikian.

"Kang Dae mondar-mandir di sini seperti kebakaran jenggot, kau tahu? Aku harus selalu punya alasan untuk menghindar. Dia mengawasiku dengan ketat. Beruntung karena skedul sudah kau atur baik-baik, aku bisa lolos. Aku serius kaget saat tahu dia menyusul ke sana. Aku sedikit pun tak buka suara. Sumpah demi—"

"Aku percaya. Tenanglah. Kim Yejoon sendiri yang mengatakannya padaku waktu pulang kemarin dulu. Berhenti merasa tidak enak. Toh, aku di sana tidak sungguhan tersiksa. Sebaliknya ... kalau diberi kesempatan lagi, aku rela menetap dan meninggalkan semua ini." Seokjin mengusap wajahnya, lalu melipat lengan ke atas meja, menidurkan kepala dengan lelah.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang