Dua.

1K 99 20
                                    

"Apa yang ingin kau buktikan? Proyek-proyek itu tidak perlu penanganan darimu. Posisi terbaik sudah jelas tersedia untukmu, tapi kau tak pernah meminta. Kenapa? Apa kau pikir aku belum puas dengan hasil kinerjamu selama ini?"

"Tidak, bukan, maksud saya ...."

"Aku bahkan tidak pantas menerima panggilan akrab darimu? Apa posisi status sangat terpatri kuat di benakmu walau kuminta sendiri untuk berhenti memikirkannya saat kita hanya berdua? Aku bahkan memasakkan kesukaanmu sebanyak ini, tapi kau masih tetap menganggap dirimu kurang layak berada di sebelahku tanpa pembuktian kemampuan?"

"Bukan. Bukan begitu ...."

"Lalu, apa, nak? Kau kesal padaku soal Kang Dae? Oh. Ayolah. Kau hanya perlu minta. Lebih dari pada apa yang kini dia miliki. Kau tahu itu, bukan? Mau berapa kali kuulangi baru kau mengerti? Itu hakmu, nak. Dari dulu sampai sekarang, tapi kau tidak juga mengatakan apa pun."

"Itu karena ...."

"Atau, kau terlalu fokus mencari orang itu, sampai lupa bahwa kau masih memiliki pria tua lumpuh sebagai orang tuamu? Aku hidup di depanmu, nak. Bernapas. Kau bahkan sudah tidak memberiku senyum kalau memanggilku mungkin terlalu istimewa—"

"Oh, Ayah, maafkan aku, maaf, sungguh."

"Darah dagingku atau bukan, kau sudah memiliki margaku, nak. Kurangilah memandangku terlalu agung, aku bukan dewa. Cuma pria tua lumpuh biasa yang rindu senyuman putranya."

Seokjin memejamkan mata. Menumpu kedua lengan menutup wajah seraya mengembuskan napas lelah. Sejak empat jam lalu, diselingi kesibukan mengurus proyek yang tersisa, kembali dari Ilsan di mana kediaman tenang direkturnya berada selalu terasa menyesakkan dada.

Kim Yejoon. Pria berusia kepala enam itu adalah alasan kenapa dia bekerja sedemikian keras. Benar untuk membuktikan kualitas. Benar juga agar bisa dibanggakan di mata publik. Selain membaktikan diri pada pria yang mengadopsi dan memberi masa depan cemerlang padanya itu, apa lagi tujuan hidup Seokjin?

Percakapan mereka sederhana, tapi tidak juga. Efek dari itu semua, tengah merajam Seokjin sampai berbaring pun rasanya seluruh tungkai di tubuh berdenyut protes tanpa henti.

Ya. Seokjin mencarinya. Penyebab kenapa Kim Yejoon tidak bisa lagi menjalankan kinerja seperti sebelumnya adalah karena dia terkena serangan jantung setelah bertemu seseorang entah siapa, yang berujung stroke dan mengharuskannya berada di rumah sakit sebulan penuh dengan hasil kelumpuhan permanen dari pinggang ke bawah.

Pada awal-awal, Yejoon menolak jujur tentang orang yang ditemuinya. Dia satu-satunya yang tahu, tapi Seokjin tidak bisa memaksa. Hasil nihil, mendorong diri mengalihkan fokus pada kerjaan sampai tidak tahu lagi bagaimana rasa senyum di wajah atau seperti apa caranya menikmati hidup.

Yang Seokjin tahu, jika dia melakukan kedua hal itu, kesialan akan datang padanya atau orang di sekitarnya. Mau itu kebetulan atau bukan, Seokjin sudah punya bukti dengan korelasi yang tidak perlu membuatnya berpikir dua kali.

Seperti runtuhnya proyek pertama yang dikerjakannya  bersama Yejoon sebagai pegawai baru kali lalu juga, Yejoon yang berakhir di kursi roda. Sebelum semua terjadi, Seokjin ingat dengan jelas, dia masih menikmati lelucon tuan Ahn serta ikut tertawa, pun selalu memberi seulas senyum tiap kali disapa, tapi setelahnya dia tahu bahwa semua itu karena dirinya terlalu memikirkan hal sederhana guna memaklumi sebuah cela dari ritme keteraturan miliknya.

"Jika memang dengan mencarinya, kau baru bisa lega, aku tidak bisa mencegah. Aku tahu, kau takkan berhenti sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau sudah begitu, sekalian saja kau bawa dia padaku dan setelahnya, apa pun yang kau inginkan, akan kukabulkan. Apa pun."

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang