Malam hari, memang bukan waktu yang tepat untuk melakukan pertemuan, tapi Seokjin menyetujui ajakan Namjoon untuk bertemu Kepala Desa. Dia menolak dianggap manja atau istimewa, atas perlakuan Namjoon yang seolah dia mudah celaka hanya karena keluar dari area rumah itu.
Pemandangan redup dari penerangan yang masih jarang-jarang, menjadikan bayang-bayang mereka nyaris hilang, tapi semua masih nampak jelas karena cahaya rembulan dari langit. Besok adalah purnama, benda langit itu bulat penuh, tanda untuk diadakannya festival kecil di sana yang telah berlangsung dari jaman dahulu.
Seperti kata Namjoon.
" ... bukan hal besar, hanya acara pemanjatan doa dan syukur pada semesta untuk hasil panen melimpah dan mohon kesejahteraan sepanjang tahun nanti. Beberapa rumah, termasuk dari Kepala Desa sendiri, akan membuka kedai makanan tradisional dan bayarannya hanya sebuah ucapan baik untuk tuan rumah yang memberi. Lalu, saat menjelang tengah malam, ada pentas tarian dari tetua yang tujuannya tetap sama, bersyukur pada semesta diakhiri pesta kembang api. Jungkook sangat menyukainya, tapi sebelum selesai, dia lebih dulu tertidur karena puas makan."
Namjoon menjelaskan tanpa lupa tersenyum. Selalu. Seokjin sampai bingung sendiri, apa semua penjabaran tadi ada yang masuk ke kepalanya? Karena yang dia tahu, lesung pipi di wajah itu menyesaki kepalanya tiap kali empunya bicara.
"Kamu juga pasti menyukainya, Jin."
Yang diajak bicara menatap mata yang seolah berpendar itu.
"Tentunya," balas Seokjin pelan, lalu mengalihkan pandangan. Tidak mau kembali terpesona seperti sore tadi dan akhirnya lupa diri.
"Ah, itu. Sedikit lagi kita sampai. Kakimu ...."
"Aku baik, Namjoon." Seokjin memacu langkah lebih dulu, memaksa diri lebih cepat untuk menunjukkan kekhawatiran yang kembali terucap adalah tidak perlu—
"Uh, belok kiri di sini, Jin, bukan ke sana," celetuk Namjoon kemudian.
Seokjin terkesiap pelan lalu berpaling, menunjuk sekilas arah yang dimaksud dan kembali melangkah mendahului Namjoon alih-alih meredam malu.
Sesampainya di tujuan, sambutan ramah seorang pria paruh baya dengan rambut cepak kelabu diterima mereka. Kepala Desa itu menyilahkan masuk dan tak lama, istrinya pun menyambut juga. Mereka duduk di pendopo teras depan, duduk santai, seolah-olah tengah menyilahkan keluarga sendiri.
Namun, lagi-lagi, perlakuan 'anak raja' diterima Seokjin. Kepala Desa bertutur kata sangat sopan dan formal padanya, juga menjamu sedemikian ramah seperti kedatangan tamu agung. Walau obrolannya santai dan biasa saja, Seokjin mulai enggan berlama-lama.
Sebelum mengucap susunan kata yang sekiranya hendak dikeluarkan untuk pamitan, gestur tubuh pria paruh baya di depan Seokjin tertangkap aneh. Di pendengaran, pria itu jelas meminta Seokjin agar menganggap desa itu seperti kampung halamannya sendiri, bahkan terang-terangan berharap Seokjin betah, tapi tepat setelah mengatakan halusnya permintaan, Namjoon berdeham.
Seokjin mendapati Kepala Desa mengedut kaget, tapi hanya sepersekian detik sebelum Seokjin juga berpaling ke arah yang sama dan mendapati Namjoon tersenyum ramah.
Istri Kepala Desa datang dengan kudapan baru dan suasana sesak itu terangkat, atau setidaknya itu yang ditangkap Seokjin.
Sebelum berpamitan, yang sekali lagi diwakilkan Namjoon seperti saat datang tadi yang mana seolah menjadi juru bicara Seokjin tanpa diminta, sepintas sikap pasutri Kepala Desa terasa anehnya.
Mereka masih mengumbar senyum ramah, tapi tidak lagi hangat.
Ada sekelebat rasa dingin yang menggigit.
KAMU SEDANG MEMBACA
.Cafuné. | NJ √
Fanfiction[BTS - NamJin] Perjalanan untuk memenuhi ambisi sekaligus pembuktian kemampuan diri, tetapi siapa sangka malah menemukan tambatan dari jalinan asmara yang nyaris tak bisa dipungkiri? . . . Desclaimer : BTS milik HYBE Labels dan diri mereka sendi...