Langkah kaki jenjang tergesa menapaki tangga. Sudah biasa menjejaki undakan-undakan dari pada menggunakan fasilitas canggih yang tak lagi perlu menekan dan cukup mengatakan saja ingin ke lantai berapa. Bagi dia, apalagi kalau tidak perlu mendesak, lebih baik memanfaatkan kinerja motorik badan agar tetap sehat, alih-alih menyibukkan diri dari hanya melamun menunggu mesin mengantarnya ke tujuan.
Namun, kebetulan saat Seokjin harus sampai di ruangan si Direktur Utama lebih cepat, semua lift penuh. Alhasil dirinya butuh sedikit waktu mengatur napas sebelum masuk begitu berada di depan pintu.
"Ini terlalu berisiko!" adalah yang pertama didengarnya begitu mendorong pintu terbuka. Han Jiyoon, salah satu anggota Direksi, berdiri di depan meja Direktur sambil menyodorkan sebuah berkas.
"Semua memiliki risiko, Pak Han."
"Ini sudah kali ke tiga, Anak Muda. Mencoba-coba juga ada batasnya."
Seokjin menanggapi lambaian jemari begitu meletakkan bungkus hotteok ke pantry. Sebuah dokumen hasil ketikannya kemarin diserahkan ke hadapan Han Jiyoon sekalian menyapanya sopan. Anggota dewan paruh baya itu dan atasan muda mereka, beragumen kembali yang diakhiri dengkus kesal yang lebih tua. Seokjin diam menyimak dan baru berkata jika diminta. Sepeninggal Jiyoon, Namjoon kembali disibukkan dengan berkas-berkas juga laporan di surelnya, sekalian mendengarkan tuturan jadwal seharian dari Seokjin. Setelah mereka diam, Seokjin keburu menyelami argumen sesaat lalu dan mempertanyakan keputusan Namjoon akan langkah ekstrimnya dalam bermain saham.
Kini, giliran mereka yang saling melempar pendapat. Seokjin cukup serius untuk mewanti-wanti Namjoon dan mengenyahkan sikap formal di antara mereka. Atasan barunya itu baru dua minggu menjabat dan sudah nyaris mengajak debat separuh dari anggota dewan seperti Han Jiyoon. Namun, karena hasil yang memang memuaskan, Seokjin tidak terlalu mempermasalahkan kinerjanya berhubung dia juga selalu dimintai pendapat. Tetapi, bukan berarti dia terus didiamkan juga.
"Alasanmu meyakinkanku kalau kau sungguhan kurang tidur." Seokjin akhirnya mengambil kesimpulan, mengangkat dagunya begitu Namjoon meletakkan pena. Atasannya telak dibaca, walau penampilannya tidak pernah gagal membuat degup jantung Seokjin memburu tiap pagi mereka bertemu.
Namjoon melepas kacamata berbingkai perak tipis yang dikenakannya hari ini, tatapannya tampak lelah, tapi tetap tajam. "Ya, kamu benar. Pekerjaan yang menungguku sungguh banyak dan aku tak pernah punya kesempatan melepaskan stres. Padahal baru mulai."
Seokjin mengedikkan bahu sejenak. Namjoon bersandar penuh di punggung kursi, bahunya turun seraya menyapukan jemari kiri ke pelipisnya, bertumpu di sana. Dia memutar kursi sampai menghadap si sekretaris, yang langsung menatap ipad di pelukan. Bukan karena ada suara notifikasi masuk dari benda pipih itu.
"Makan siang kali ini, kusarankan sesuatu yang berat dan cepat. Karena, salah satu klien dari anak perusahaan di Gwacheon ingin mengadakan pertemuan sepuluh menit lebih awal. Barusan dia mengirimkan surel," terangnya menyapukan jemari ke layar. Kembali ke sikap formal.
"Aku cukup makan kudapan yang kamu bawa tadi dan kita bisa berangkat lebih awal." Suara Namjoon terdengar sangat dalam, sampai Seokjin tengadah.
"Itu takkan cukup."
"Kalau begitu, atur jadwalnya ke lima belas menit kemudian."
"Tidak bisa, Sajangnim. Klien kita —"
"Ya, sudah, bantu aku."
Seokjin menghela. Dia merogoh saku guna mencari resto terdekat, tapi Namjoon menyela. "Tidak, bukan itu maksudku."
"Lalu? Ini hampir jam makan siang."
"Ya, aku tahu. Simpan ponselnya dan duduk saja di depanku." Intonasi suaranya masih sama, termasuk kembali menyela saat Seokjin beranjak ke kursi di depannya, "bukan di situ, tapi di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
.Cafuné. | NJ √
Fanfiction[BTS - NamJin] Perjalanan untuk memenuhi ambisi sekaligus pembuktian kemampuan diri, tetapi siapa sangka malah menemukan tambatan dari jalinan asmara yang nyaris tak bisa dipungkiri? . . . Desclaimer : BTS milik HYBE Labels dan diri mereka sendi...