Delapan belas.

594 78 14
                                    

"Tuan Ahn, nanti ada paket untuk dokter Choi dariku. Rencananya akan kuantarkan sendiri, tapi jika situasi dan kondisi tidak mendukung, bolehkah aku minta tolong pada Anda?"

"Tentu boleh, tuan. Bagaimana hasilnya? Kuharap baik." Pria paruh baya itu melirik dari kaca spion. Seokjin tersenyum simpul padanya.

"Iya. Aku baik-baik saja. Dia titip pesan padamu juga, tuan Ahn. Katanya, tugas Anda sangat luar biasa karena selalu ingat memberiku makan siang."

"Astaga, tuan Muda. Itu bukan apa-apa. Hanya makanan kecil yang dapat kuberikan. Aduh."

Seokjin terkekeh dan berterima kasih pada tuan Ahn yang kikuk, lalu tak lama mereka pun sampai di gedung tiga lantai yang unik dan mengilap. Tempat kerja Seokjin setiap hari. Begitu mobil berhenti, tuan Ahn sigap memutari dan membukakan pintu karena Seokjin kebetulan menerima panggilan telepon. Biasanya dia tidak perlu dibukakan seperti itu. Mengangguk seraya bergumam terima kasih, Seokjin pun memasuki gedung, berjalan dalam langkah panjang-panjang menuju ruangannya di lantai teratas.

Beberapa karyawan yang dilewati, menyapa sopan dan dijawab anggukan singkat. Seokjin memasuki lift yang kebetulan hanya diisi dirinya. Panggilan sudah berakhir sesaat lalu dan Seokjin terpaksa menggunakan alat pengangkut itu dari biasanya menaiki tangga, karena jadwal yang diingatkan Hoseok. Lima belas menit lagi dia harus menghadiri rapat bersama klien dari belahan bumi lain. Jadi, dia tidak boleh telat.

Baru berbelok menuju koridor, langkah kaki nyaris berhenti, tapi berhasil diabaikan. Di lobi tunggu, seseorang berdiri. Menanti Seokjin dalam balutan busana terusan hijau pastel. Amat kontras juga pas dengan paduan perabot serba kayu dekorasi sekitar.

Namun, tatapan sosok itu, tidak sesejuk busana yang dikenakan.

Seokjin segera menyapa saat sudah tiga langkah kaki jauhnya dari si tamu. "Selamat siang, nyonya Song. Adakah yang bisa saya—" Tamparan keras menghentikan kalimat sapa sopan. Hoseok di sisi lain, berdiri sigap dari balik meja kerja.

Seokjin menahan diri mengusap pipi yang melejit panas. Dia menarik napas perlahan, lalu kembali menatap wanita di hadapan.

"Kuharap Anda punya alasan logis atas sikap amoral tadi."

"Untuk apa membawa pulang anak yang terlupakan itu?"

"Maaf?"

Ibu Kang Dae mengikis jarak sampai hanya sejengkal dari Seokjin. Hoseok sudah menyentuh gagang telepon. Siap memanggil penjaga kapan saja jika dibutuhkan, tapi jemari Seokjin yang bergerak naik turun bertempo pendek, membuatnya melonggarkan sentuhan.

"Jangan pura-pura bodoh. Kang Dae sampai harus menjemputmu di antah berantah saat dia begitu sibuk. Kupikir untuk apa, ternyata malah menyambut bibit kehancuran. Rencanamu sungguh licik, Seokjin."

Yang diajak bicara menegapkan bahu. Dagu terangkat jumawa dan itu semakin membuat wanita di hadapan bersungut-sungut.

"Kita bisa sambil duduk."

"Dengarkan aku, Anak Pungut. Tingkahmu boleh santun dan penuh kalimat pintar, tapi kau tetaplah bocah malang yang terlahir dari pelacur murahan. Apa pun tindakan yang kau perbuat, semua bau busuk! Kau paham itu?"

Mengerjap lambat, Seokjin mulai merasakan kebas pada ujung-ujung jemarinya. "Nyonya Song."

"Apa? Mau mengancamku? Sebelum itu, pikirkan baik-baik kalimatku. Yejoon memang tidak menikahiku, tapi pengakuannya atas Kang Dae adalah bukti mutlak kalau kuasa yang dia pegang saat ini bisa diwarisi keturunannya juga. Termasuk, yang baru kau bawa dari desa. Mereka punya potensi dan sedikit kau salah melangkah, kau bisa terinjak-injak. Lihat? Rencanamu yang hendak menggunakannya untuk senjata, bisa jadi pedang bermata dua. Kau ini bodoh, atau tolol?"

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang