Dua puluh tiga.

536 80 21
                                    

Seokjin terbangun layaknya mayat hidup begitu pagi tiba. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut menyebalkan. Sepasang mata seperti lengket, tapi bukan karena terlampau ketiduran. Dadanya sesak oleh kecemasan. Juga seluruh tungkai di tubuh yang berderak mengerikan saat dipakai bergerak.

Seokjin tak bisa menyingkirkan bayangan rasa kecewa Namjoon padanya. Dia bahkan harus berpamitan via suara ke penyelengara acara amal, karena tak sanggup kembali naik. Sesak dalam dadanya jauh lebih menyita, dari pada menyanggupi bersikap profesional seperti biasa. Benaknya memutar ulang seluruh kebersamaan yang sempat dirasa bersama Namjoon sebelumnya. Entah itu sekadar makan kudapan bersama, sekilas percakapan jenaka kala bekerja, sampai kegiatan senggama. Semua tumpah ruah mendorong dirinya semakin merasa hina. Dia sudah menyakiti ungkapan suka sekaligus lupa akan dedikasi awal mula.

Seokjin tidak pernah menyangka dia akan tenggelam dalam emosi jiwa terlalu dalam, sampai dirinya mengabaikan bagaimana kembali ke permukaan.

Seokjin sekali lagi menahan semua kalut di benaknya saat pergi ke tempat kerja. Namun, begitu berhasil mengikuti insting dan berharap wajahnya biasa saja ketika kembali memasuki gedung kantornya, berita dari si sekretaris nyaris membuat pijakan kakinya goyah.

"Ke kantor pusat?"

"Iya, Bos. Beliau ingin kau hadir dalam rapat dewan."

Masih berusaha mencerna karena harusnya kantor pusat mengadakan rapat dengan lebih dulu mengabarkan berita agar semua pemegang cabang mempersiapkan bahan, Seokjin lebih khawatir akan keadaan si Direktur utama.

"Beliau rapat via daring, 'kan?" tanyanya seraya menuju ruangan alih-alih mengintip ke arah ruang bilik karyawan. Hoseok menyerahkan ipad dan berdeham paham.

"Kurang tahu, Bos, tapi kalau untuk Namjoon, dia belum datang dari tadi." Seokjin meliriknya saat menerima sodoran tablet pintar. Hoseok kembali berdeham. "Hanya insting, maaf jika salah. Tapi, wajahmu pucat, Bos. Kurang tidur lagi, ya?"

Seokjin berhenti di depan tangga karena memeriksa seluruh jadwal hari itu, bahunya terasa pegal saat harus menunduk ke layar di tangan. "Lebih tepatnya tidak bisa menutup mata sama sekali."

"Jangan kembali ke kebiasaan itu lagi, Bos."

"Seandainya aku bisa berbagi apa yang ada di kepalaku sekarang padamu," dia menanggapi, lalu berbalik arah tujuan, "kurasa semua ada di dalam sini?"

"Benar, Bos."

"Kalau begitu kita langsung berangkat." Seokjin menyerahkan ipad tadi ke Hoseok dan mereka bersama-sama menuruni tangga ke lantai satu. Beruntung sekretarisnya cekatan dan selalu memasukan seluruh pelaporan ke dalam benda datar itu, jadi mau mendadak pun, Seokjin akan siap sedia.

"Akan kuatur ulang jadwal hari ini dan kau bisa bercerita padaku setelahnya. Bagaimana, Bos?"

Seokjin menggeleng. "Tidak hari ini. Suasana hatiku sangat buruk."

Hoseok berhenti melangkah sejenak, lalu kembali mengekori atasannya menuju mobil tuan Ahn. Dia mengingatkan diri agar tidak melakukan kesalahan sedikit pun sampai jam kerja berakhir. Soalnya, menghadapi atasan saat emosinya sedang tidak kondusif, adalah hal buruk. Walau begitu, Seokjin selalu ingat untuk tidak menyampurkan hal pribadi ke dalam kerjaan dan Hoseok tahu itu.

Seokjin berhasil fokus pada apa yang di hadapan. Kalau memang hanya rapat daring, dia tak perlu datang, tapi karena bukan hanya dirinya yang diminta hadir tatap muka, pastinya ada sesuatu yang sangat penting. Entah apa itu. Seokjin merasa was-was. Kondisinya sedang tidak baik-baik saja hanya karena seorang.

Hoseok berpaling saat atasannya menggeleng terganggu. Dia menawarkan agar mereka singgah membeli sesuatu, tapi tuan Ahn diminta terus melajukan kendaraan. Seokjin menatap melalui jendela di sisinya, menerawang, sedang Hoseok dan tuan Ahn saling pandang maklum.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang