Tujuh belas.

548 77 36
                                    

Seokjin baru melepas embusan lelah barang lima menit, saat ponselnya menerima panggilan. Tidak repot menyalakan lampu atau berpindah tempat, percakapan pun terjadi.

Ayah angkatnya meminta, agar esok hari saat libur akhir pekan, Seokjin bisa menemani Namjoon pergi membeli beberapa kebutuhan sekalian membawanya jalan-jalan. Tentu saja disanggupi walau dalam hati masih gamang. Dia bingung harus bagaimana bersikap setelah Namjoon mengungkapkan isi pikiran.

Pernyataan manis sekaligus sadis.

Seokjin tahu dia tak bisa meremehkan Namjoon. Cowok itu penuh misteri dalam balutan sosok memesona yang hakiki.

" ... kau sudah memenuhi permintaanku, Nak. Apa sekarang kau tahu apa yang kau inginkan dariku? Imbalan atas kerja kerasmu membawa putraku kembali, ingat?"

Seokjin ditanyai pertanyaan itu lagi. Bayang-bayang dari balik tirai di kejauhan, membias di wajahnya yang lusuh.

"Cukup dengan melihatmu bahagia, Ayah," jawabnya mengambil jalan tengah. Karena sesungguhnya, dia ingin lebih, tapi tentu saja lidahnya terkunci.

"Seokjin?"

"Iya, Yah?"

"Jujur padaku, Nak. Kumohon?"

Lihat? Yejoon tahu dengan mudah. Apa Seokjin benaran seperti buku yang terbuka di mata semua orang? Terutama untuk ayah dan anak Kim itu?

Sambil memejam dan bersandar ke punggung sofa, Seokjin menjawab, "Aku tidak tahu, Yah."

"Sungguh?"

"Iya."

"Belum, mungkin?"

Sungguh berkeras, Kim tua itu. "Mungkin."

"Kau sangat lelah, ya?"

"Tidak juga," jawabnya bohong. Seokjin nyaris menyerah secara mental dan fisik, tapi tentu Yejoon tak perlu tahu.

"Kau, sudah kembali tersenyum padaku dan untuk kesempatan hari ini, terima kasih, Nak."

"Ayah, itu bukan apa-apa." Dia membuka mata, menerawang langit-langit yang pucat. "Dibanding dengan apa yang sudah Anda berikan padaku, semua yang kulakukan belum ada apa-apanya."

"Anakku, tolong berhenti merendahkan segala usahamu."

"Tidak, Yah. Aku ...."

"Aku tahu. Walau tidak kau katakan. Kau sungguh lelah sekarang, bukan? Tidak. Jangan potong dulu, aku ingin mengatakan semuanya."

Seokjin menegakkan punggung. Merasa was-was tanpa diminta.

"Aku memang tidak melihatnya secara langsung, tapi aku juga pernah muda dan berada di posisimu. Aku tidak membahasnya karena tahu, kau pasti akan berkata sebaliknya dan berkeras mengatakan semua baik-baik saja. Kau memang tegas dan ulet, sesuai dengan apa yang aku impikan, tapi kau juga sangat mudah terbaca. Dua mata indah itu, terlalu jujur tiap kali kutatap."

Mereka hanya via suara, tapi Seokjin seakan merasakan kehadirannya di sana.

"Nak. Kau memang bukan darah dagingku, tapi tak perlu ada ikatan seperti itu untuk merasakan kasih sayang, bukan? Perasaan tulus yang saling timbal balik, sudah cukup peka untuk tahu satu sama lain walau hanya mendengar atau tatap mata tanpa kata."

"Maafkan aku, Ayah."

"Untuk apa? Karena menolak jujur pada pria tua ini?"

" ... iya?"

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang