Tiga belas.

571 74 21
                                    

Namjoon sangat berpikir lurus perihal Seokjin. Walau sempat was-was dengan apa yang bakal keluar darinya karena ingat si Nenek yang begitu tepat menyebut marga Seokjin dan seolah tahu lebih dari itu, nyatanya Namjoon hanya beranggapan jika memanglah perlu mengabari kerabat atas keadaan diri, jadi tidak sedikit pun dia curiga atau penasaran berlebih atas ketiadaan Seokjin dari rumah tanpa kabar yang berakhir ditemukan di penginapan.

"Kamu baik-baik saja, Jin?" tegur Namjoon lagi, membuat yang ditanya berkedut. Anak kecil di pelukannya sudah tidur kembali sejak sepuluh menit lalu mereka undur diri dari pak Lee. "Jungkook menyulitkanmu, ya? Sini, biar kuambil ...."

Seokjin menggeleng. "Jangan, kasihan. Dia pulas sekali." Anak kecil itu merengek ingin ke pelukan Seokjin tepat ketika dilarang bermain dengan kucing Yoongi—karena dia ditakutkan kena cakar dari akibat ekor si kucing yang ditarik kencang. Jungkook masih setengah sadar saat melakukannya.

"Lalu, kenapa kamu seperti kesusahan? Apa yang kamu pikirkan? Kerabatmu meminta lekas pulang, ya? Mereka khawatir, 'kan?"

Seokjin berhenti melangkah. Mereka menyusuri jalan setapak yang penuh guguran daun dari pohon meranggas di sekitar. Sekilas, saat saling tatap begitu, mereka sangat pas dikira keluarga kecil yang tengah jalan-jalan santai.

Namun, tentu tidak begitu adanya yang terjadi.

"Jin?"

"Mereka bukan sesuatu yang perlu dipusingkan."

"Lalu? Kenapa ...."

"Aku penasaran denganmu, Namjoon." Yang diajak bicara menaikkan alis. "Ada apa dengan sikap penduduk dan dirimu yang ramah?"

Namjoon mengernyit, total bingung.

"Aku bukan Jungkook yang bocah dan tiap kali kulihat dirimu mengobrol dengan mereka, ada sesuatu yang kurasakan."

"Apa itu? Rasanya aku biasa-biasa saja."

Seokjin menggeleng. "Mereka segan padamu. Tipis, tapi ada dan aku tahu apa yang kukatakan."

"Itu yang mengusikmu sedari tadi?"

Seokjin menyangkalnya dalam kepala. Dia ingin langsung mengutarakan kesimpulan dari akibat gestur pak Lee, tapi dia juga tidak ingin. Entahlah.

Fakta yang disusun logikanya terasa gila.

"Baiklah, tapi kurasa bukan dijelaskan di tengah jalan begini, 'kan?" tanyanya, menyentuh pelan pinggang Seokjin, mengajaknya lanjut jalan. "Akan kujelaskan nanti. Sekarang, aku mau minta tolong tinggallah bersama Jungkook di rumah, karena aku harus pergi sebentar."

Seokjin tidak merasa perlu menyudahi tuntunan Namjoon di pinggangnya walau jelas dia sudah tahu tujuan mereka.

"Mau ke mana?"

"Ziarah ke makam. Kemarin, aku lupa mampir sebelum perayaan."

"Aku ikut," aju Seokjin lekas.

"Anak itu ...."

"Dia tentram bersamaku." Seokjin diberi tatapan belum mengerti. "Tidak boleh, ya?"

Namjoon mendengkus. "Boleh."

Dengan jawaban ramah barusan, Seokjin memeluk erat Jungkook alih-alih meredam debar jantungnya. Susunan kata-kata Yejoon sebelum dia pergi, mulai mengalir kembali dalam kepalanya.

.

Mereka sampai ke sebuah area tak jauh dari rumah terbengkalai Dam Ryeowook. Ada dua buah gundukan di sana dengan nisan berukir apik. Tampak bunga-bunga kering di masing-masing sisi. Sisa dari kunjungan terakhir. Seokjin diberi dua buah buket bunga yang seingatnya tertanam subur di halaman depan galeri Namjoon, untuk di letakkan ke sisi tiap nisan. Dengan hati-hati tanpa mengusik Jungkook di pelukan yang pulasnya bukan main, Seokjin diam seribu bahasa dan bergeming setelahnya.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang