Tujuh.

663 78 28
                                    

Ponsel lipat hitam itu dipandangi dalam diam untuk kesekian kali. Dirinya bimbang. Bukan untuk melakukan panggilan. Dia sama sekali belum punya kemajuan dan sudah jadi lima hari di sana. Benda mati itu seolah menohok diri agar ingat kembali apa yang harus dilakukan sedari awal menginjakkan kaki.

Perkataannya benar. Kaki sudah bisa dipakai berjalan normal di hari berikutnya. Hanya sedikit meninggalkan nyeri, tapi sama sekali bukan halangan lagi. Baret luka di wajah pun kering dan hanya meninggalkan bekas samar. Sudah terasa gatal sejak kemarin. Memar di pinggul, perut, juga siku, perlahan berubah warna kembali seperti kulit sendiri. Perawatan yang diterima memang sangat membantu oleh kinerja yang mumpuni.

Hanya saja, si penyelamat yang tampan itu tak tampak batang hidungnya sejak pagi.

Seokjin menutup ponsel itu seketika. Dia menolak anggapan penuh puja Namjoon kemarin sebagai alasan dicari-carinya sosok itu kini.

Aku hanya melihat seseorang yang sangat butuh bantuan. Walau terlalu indah untuk tersesat di desa kecil ini, tapi kurasa itulah keberuntunganku. Aku cukup senang dengan memberi segala yang terbaik untuk kesembuhanmu, bukan untuk mengadili jalan ceritamu sampai bisa ke mari. Aku yang termanggu saat melihatmu, karena tak sanggup berpikir selain mengagumimu. Maaf.

Begitu katanya dan Seokjin begitu saja menyentil hidung Namjoon alih-alih menghindari rasa malu juga sekalian membenarkan perkataannya yang akan membalaskan Jungkook kalau Namjoon kembali meminta maaf atas sesuatu yang bukanlah kesalahannya.

Oh? Apakah Seokjin mengaku dia senang dipuja?

"Tidak. Astaga. Apa yang kupikirkan?" gumamnya pada diri sendiri seraya mengetuk-ngetukan ponsel ke kening.

"Apa Anda baik-baik saja?" tegur seseorang dari balik pintu kamar, membuat Seokjin berpaling seraya memasukkan ponsel ke saku. "Kepalanya kenapa?"

"Ah, tidak. Aku baik-baik saja, Jimin." Benar. Pemuda itu yang menggantikan Namjoon membawa sarapan. Berkata bahwa dititipi pesan demikian sementara empunya entah pergi ke mana. "Jadi, bagaimana? Boleh, 'kan?"

Jungkook tengkurap tak jauh dari Seokjin, sedang serius mencoret-coret buku gambarnya. Jimin mendekat, duduk berlutut lalu menggeleng. Wajahnya manis, tapi mata itu berpendar was-was seolah Seokjin hendak memakannya jika pertanyaan tadi dijawab.

Ada apa dengan perilaku orang-orang ini pada Seokjin? Dia tidak tahu dan sudah bosan mengoreksi. Ditambah si Nenek, yang menurut Jimin menolak menampakkan diri karena kurang etis. Dia bertugas di dapur dan hanya di situlah seharusnya, bukan menyapa si tamu.

Sungguh. Seokjin tidaklah berdarah biru! Demi apa.

"Tidak bisa, Kakak." Ya. Untungnya dia tidak memanggil Seokjin lebih tua lagi. Tuan, atau bahkan Yang Mulia, mungkin.

"Kenapa? Aku sudah baikan. Tidak perlu khawatir."

"Bukan. Kak Namjoon bilang, Anda di rumah saja. Lebih aman."

"Apa ada penjahat yang berkeliaran?"

"Tidak ada."

"Hewan buas?"

"Walau dekat hutan, mereka tidak seingin itu meninggalkan sarang dan mengacau di pemukiman."

"Lalu? Kenapa aku tidak bisa keluar? Apa takut aku pergi tanpa bilang terima kasih atau mencuri sesuatu dan kabur?"

Jimin melebarkan mata, menggeleng cepat. "Bukan-bukan! Bukan begitu, astaga. Aku, aku juga tidak mengerti kenapa, tapi kak Namjoon tidak mau Anda kenapa-napa kalau keluar."

Seokjin menghela napas pendek. Jimin seketika menatap lututnya sendiri.

"Aku bukan anak kecil."

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang