Sebelas.

580 84 24
                                    

Apakah Seokjin menyukainya?
Entah.

Seokjin kesal padanya?
Tidak, tentu saja.

Lalu, bagaimana bisa seseorang yang baru seminggu bertemu sudah bisa diizinkannya menyentuh tubuh?
Jangan tanya.

Karena yang bersangkutan juga tidak tahu jawabannya.

Mengira berciuman hanya sampai sana, ternyata tidak. Seokjin refleks mengulas senyum lepas saat menatap kedua mata Namjoon yang berpendar kejut sekaligus haru atau entah apa namanya tepat ketika dia menarik kecupan. Suasana yang berubah  hening tanpa disangka, membuat suara rendah Namjoon terdengar amat sensual sekaligus dominan.

Oh, aku sungguh ingin mengecup senyum itu.

Lalu, apa yang kau tunggu, Namjoon?

Hanya segelintir pertanyaan di balik maksud pemberian izin secara implisit itu, entah bagaimana mereka berakhir saling berpelukan beralaskan ilalang. Mungkin, karena sama-sama memiliki keinginan untuk saling menggulum lidah. Atau, juga karena kenal rasa yang sesungguhnya membara hanya dari mata juga sentuhan nyata.

Tidak ada yang peduli akan kembang api yang berlalu.

Mereka berdua bukan bocah dan tentunya tahu apa arti semua gestur sensual itu. Jika ada rasa suka atau tertarik satu sama lain, tentunya sebuah pelepasan emosi berlandaskan birahi adalah hal yang lumrah.

Seokjin membiarkan hanbok di badan terlepas perlahan. Dia tidak ambil pusing akan embusan angin yang mengigit karena lebih sibuk mengimbangi pergulatan lidah mereka. Pun, tak lepas meremas-remas rambut di tengkuk juga secara tak langsung ikut menarik lepas hanbok dari bahu keras yang empunya sibuk menggerayangi sekujur torso.

Desau angin yang bergesekan dengan batang-batang ilalang, berbaur sangat pas bersama deru napas. Sesak yang mengusik pun hanya ditanggapi beberapa detik sebelum kembali saling mengecap rasa lidah bagai candu menggelitik. Mereka menggulum, mengecap, dan menyatukan liur dalam nafsu yang membubung.

Namun, jika ditanya bagaimana manifestasi sebuah emosi sampai akhirnya terealisasi demikian, mungkin tidak ada yang sadar akan dasar dari sebuah rasa.

Belum.

Seokjin nyaris telanjang dada saat membiarkan Namjoon merajam kecupan ke leher juga bahunya. Dia sudah pasrah diapa-apakan oleh cowok berbadan tegap itu. Sambil ikut mengecupi leher yang pernah dilihat begitu memikat kala berpeluh saat konsentrasi memotong kayu dulu, Seokjin dengan sengaja menarik diri untuk ditindih. Beralaskan hanbok dan ilalang tidak buruk, dari pada tidak sama sekali. Dia sendiri juga sibuk mencari-cari celah di pinggang Namjoon untuk menarik celana, tapi malah menyenggol selangkangan dan mendapati gundukan keras di antaranya.

Namjoon seketika mengerang dan menarik diri. Wajahnya merona.

"Ada apa?" Seokjin mengerjap, kembali mengulurkan jemari ke selangkangan, tapi Namjoon menahannya.

"Tu-tunggu dulu," desahnya.

Seokjin mengernyit tak mengerti. Dia nyaris menggigil kedinginan dan alangkah sial rasanya jika Namjoon berubah pikiran.

"Aku ... aku sungguhan hanya ingin mengecupmu, Jin."

"Tapi, sudah nyaris menelanjangiku?"

Namjoon menelan ludah, menarik pergelangan Seokjin untuk diletakkan ke sisi kepala. Mata bulat yang tadi mengguratkan rasa kalut, sekarang berpendar penuh kabut. Menjelajah apa yang tersaji di depan mata. Di bawah tubuhnya.

"Kulitmu seperti kanvas. Kecupan yang kuberi hanya sebentar dan perlahan, tapi warna merah segera menampakkan diri. Sangat cantik seperti kelopak bunga. Dibandingkan seluruh baret yang dulu melukai, aku lebih ingin melihat ini. Menarik. Indah sekali. Sekarang itu yang tengah memenuhiku. Bolehkah kutorehkan lagi, Jin?"

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang