Dua puluh lima.

571 75 31
                                    

Seokjin heran pada dirinya sendiri. Dia kesal selama seharian setelah dipepet dalam kamar mandi dan di kantor pula, tapi begitu tak lagi dijamah selama dua minggu ke depan - yang mana kerjaannya betulan padat - sekadar tak sengaja bersentuhan tangan atau bahu sudah menimbulkan rasa nyaman di perutnya dan dia ingin lebih dari itu.

Jangan salah. Seokjin bukan ingin disetubuhi dengan binal, dia lebih suka jika mereka saling berpelukan di tempat tidur dan bangun kesiangan. Seperti sepasang kekasih ... tidak, tunggu dulu.

"Kamu baik-baik saja?" Namjoon menegur di sebelah. Seokjin berpaling dan seketika merasa bodoh. "Kenapa menggeleng-geleng begitu?"

"Oh, uh, tidak. Aku baik-baik saja." Seokjin menetralkan tenggorokan sekalian isi otaknya yang melantur. Bertanya-tanya sendiri apakah dia sudah terlalu lelah sampai tak waspada mengutarakan emosi bahkan di depan si penyebab beban pikiran itu sendiri?

Perhatiannya teralihkan kemudian oleh remasan pelan di jemari. Namjoon tersenyum.

"Setelah dari sini, kita makan dulu, ya? Kamu lagi-lagi ikutan telat makan karenaku. Mukamu tambah pucat, kulihat."

Seokjin menarik jemarinya yang digenggam. Sadar mereka sedang bersama supir dan bukan hanya berdua. "Mukaku begini-begini saja dari lahir. Kita masih harus ke museum untuk bertemu dengan penyelenggara acara amal. Kalau lapar, aku bisa minta singgah sebentar di toko roti dekat sana. Lumayan untuk mengganjal dan jadwal tak perlu melar," ujarnya segera menghadap depan, menginstruksikan si sopir.

Saat kembali bersandar, Namjoon tengah mengusap dagu dan memandangi keluar jendela. Diam. Entah memikirkan apa. Setelannya hari itu perpaduan cokelat muda dan tua. Secara tak langsung tampak serasi dengan Seokjin sendiri yang seperti warna latte. Padahal mereka tidak janjian sebelumnya. Kacamata Namjoon tetap sama, gagang tipis keperakan. Sepertinya dia suka atau mungkin lupa menggantinya. Seokjin dulu mengira itu untuk gaya-gayaan saja, tapi sesungguhnya Namjoon memiliki kekurangan dalam membaca jika harus sangat fokus.

Saat mereka singgah di toko roti, Namjoon meminta si sopir yang turun, menahan Seokjin agar tetap di tempat.

"Kamu tak mau kusentuh lagi karena kemarin itu?" Namjoon bertanya tepat sepeninggal supir selang beberapa detik pintu tertutup.

"Apa yang akan pak Jang pikirkan kalau melihatmu memegang tanganku?"

"Dia pasti langsung tahu jika aku menyukaimu."

Seokjin memejam gerah. "Lihat situasi dan kondisinya, Namjoon."

Yang ditegur malah terkekeh. "Apa artinya kamu lebih suka jika kita bersentuhan tanpa ada yang melihat?" tanyanya kembali merentangkan lengan untuk menggenggam jemari ramping di pangkuan, "atau, kamu juga menyukaiku, Jin?"

Menarik jemari dengan tegas, tatapan mata bulat itu tampak menuduh. "Sekarang bukan saatnya membicarakan perasaan."

Senyum di wajah tampan Namjoon naik sebelah. Menumpu dagu dengan tangan kiri yang ujung sikunya bersandar ke paha sendiri karena melipat kaki. "Ya. Kamu benar. Sekarang malah tampak sangat lucu jika harus membahasnya."

"Lucu? Apa maksudmu?"

Namjoon tak langsung menjawab. Senyum di wajahnya perlahan sirna. Yang tinggal, hanya tatapan tajam seperti tengah melihat mangsa.

"Aku seharusnya yang tak sudi bersentuhan denganmu. Mengingat kamu hanya membutuhkanku sebagai batu loncatan juga pemuas di atas ranjang. Seberapa kali pun kunyatakan perasaaan, kamu takkan menganggapnya serius, bukan? Alasanku untuk membencimu, jauh lebih masuk akal dari pada kekesalanmu padaku yang mendadak mengambil alih jabatan."

Seokjin meluruskan punggung. Lidahnya gatal membantah, tapi kenyataannya memang itulah yang benar terjadi. Seokjin hanya belum sadar jika masih enggan bersikap jujur.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang