Lima belas.

571 72 21
                                    

Seokjin berdiri di tengah-tengah isi rumah berdebu juga berbau apak itu. Di tangannya terdapat sebuah foto yang ditatap saksama. Dia memang tidak bertanya bagaimana, tapi setidaknya dia punya bukti saat nanti bertemu Yejoon.

Mengenai siapa itu Randa dan apa yang sudah terjadi padanya.

Mengantungi foto itu kemudian, Seokjin pun berpaling ke jendela rusak yang jadi akses keluar masuk. Sengatan nyeri langsung membuat gerakannya tersendat. Pinggul juga bokongnya masih meneriakkan protes dari tadi. Imbas dari malam panas mereka. Beruntung Namjoon tak sampai bangun. Pemuda itu memeluknya seolah enggan lepas, tapi Seokjin lihai dalam meloloskan diri. Jika diperlukan, dia akan sehening kucing di tiap langkah kaki.

Seokjin menghela napas. Kening bersandar di tepi jendela sejenak. Matahari mulai meninggi dan dia belum juga ke stasiun. Bisa-bisa, Namjoon sadar dan mulai mencarinya.

Seokjin memejam erat sejenak, memukul tepian kusen dan memaksa diri melompati jendela. Mengabaikan nyeri yang melejit. Demi apa, sakit seperti itu bukanlah hal besar. Yang lebih penting adalah dia harus segera pergi. Ponsel lipat di saku dicengkeram erat saat melangkah di antara ilalang-ilalang tinggi. Dalam kepala yang berdenyut-denyut, sebaris kalimat digaungkan berulang-ulang guna membantu mengubur kenangan selama dirinya di sana.

Semuanya.

Selain informasi penting yang berkaitan dengan misi diri, Seokjin mengenyahkan apa pun.

Termasuk, lagi-lagi, perasaan pribadi yang mulai merekah. Tidak, Seokjin tidak boleh lagi menyerah pada emosi. Sudah cukup waktunya di sana untuk menjadi seorang yang menggunakan perasaan berlebih. Dia harus kembali jadi Kim Seokjin yang tangguh dan tegas.

Karena Yejoon menunggu ....

Namun, langkah kaki mendadak berhenti. Napas pun tercekat. Pandangan nyaris dipercaya sedang menipu, tapi di depan sana, hanya sepuluh langkah jauhnya, seseorang seketika tersenyum ke arah Seokjin.

Demi apa. Ponselnya bahkan tidak dibuka sedikit pun! Bagaimana—

"Aku mencarimu, kak. Astaga. Ke mana saja, kau ini?"

Seokjin tersentak sendiri saat kakinya naluriah mundur, tapi kembali sapaan membuatnya berjengit. Dua orang berpakaian rapi non formal, membungkuk ke arahnya seraya menyapa sopan. Mereka datang dari balik tiap pohon di persimpangan jalan setapak. Seokjin sama sekali tidak menyadarinya.

Sungguh, bagaimana bisa si brengsek itu datang dan menemukannya dengan mudah? Oh, astaga. Hoseok takkan mungkin berkhianat, 'kan?!

"Hm? Ada apa? Aduh. Pakaianmu sampai lusuh begini. Kau pasti tidak nyaman tinggal di balik dinding-dinding jerami, bukan? Ayo. Kita pulang dan kuberi kehangatan yang sangat kau butuh—" Uluran tangan kanan ditepis keras, tapi justru senyum di wajah tambah lebar.

Seokjin merasakan urat nadi di pelipisnya berdenyut-denyut. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau menemukanku?"

"Menurutmu?" balasnya bertanya, kedua tangan masuk ke saku celana dengan jumawa.

Seokjin kembali memikirkan satu nama, tapi dia menolak percaya. Langkah kaki anak buah di belakangnya mengalihkan perhatian, sampai begitu saja pinggulnya ditarik ke pelukan. Seokjin memberontak, tapi rasa nyeri segera membuatnya tak sengaja nyaris jatuh. Yang mana, malah menjadikan dirinya dipeluk erat.

"Aku sungguh khawatir, kau tahu? Lihatlah. Kau jadi lebih kurus. Baumu juga tidak wangi. Malah, wangi rempah?"

"Lepaskan aku, brengsek!"

"Tapi, kau mau jatuh tadi, dan ... apa itu di lehermu?"

Seokjin menginjak kakinya keras-keras sampai refleks dia terlepas. Nyaris terjungkir ke belakang, kalau saja para anak buah di sana tak sigap menangkap dirinya. Seokjin kembali menggeliat minta lepas dan bersiap melayangkan tinju.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang