Sepuluh.

588 81 9
                                    

Nihil.

Seokjin tidak mendapat apa-apa dan itu membuatnya merasa gagal. Sangat-sangat gagal.

Dia sudah sengaja mengungkap umur agar Namjoon membiarkannya pergi sendiri ke lokasi tanpa perlu merasa khawatir tersesat atau terluka sepele seperti tersandung dan semacamnya. Pun telah berhasil menolak senyum lesung pipi dan tatapan bak anak anjing itu, agar dia bisa menjalankan rencana yang tertunda terus menerus.

Namun, dia tidak menemukan hal berarti sesampainya dia di rumah terbengkalai yang nyaris gelap sama sekali kalau saja dia tidak membawa ponsel untuk penerangan. Sudah lupa soal rumor horor dari Jimin. Pikiran Seokjin terlalu fokus untuk menggeledah. Apa pun. Ke balik meja. Lemari. Nakas. Laci. Sela-sela rak buku. Bahkan, tidak mau ambil pusing pada ikat kepala yang tersangkut karena dia terpeleset sebuah kerajinan tanah liat yang terinjak hancur.

Seokjin terlanjur ragu akan ingatan sendiri karena tidak mendapat keterangan secuil saja dari rumah berdebu juga bau apak itu.

Apa benar lokasi seseorang berjulukan Randa berada dekat kaki pegunungan atau batas hutan? Begitu yang tertera di catatan Hoseok, bukan? Atau, daya ingatnya mulai luntur karena keadaan emosi yang berubah lembek?

Seokjin meremas rambut kepala dengan keras. Pertama kalinya dia merasa sangat tidak berguna atas dasar kepentingan Kim Yejoon dan itu membuatnya frustasi.

Apa efek nyaris mati seminggu lalu membuat daya kerja otak dan emosinya sedemikian mengecewakan?

Apa yang akan dikatakan Kim Yejoon nanti? Pria baik itu sudah sangat percaya dan menaruh harapan besar padanya.

Dan, Seokjin malah ....

Samar-samar terdengar suara amat akrab yang sampai ke pendengaran. Seokjin refleks beranjak keluar dari jendela yang sudah dibobol tanpa lupa kembali menjejalkan ponsel ke saku. Kakinya berderap sekalian napas yang memburu saat mendekati sosok jangkung di kejauhan. Warna biru lembut dari hanbok yang dikenakannya, amat mencolok mata di tengah cahaya remang hamparan ilalang.

Namun, perlahan, Seokjin berhenti menyibak batang-batang yang menari disapu angin malam itu, demikian kakinya. Dia bergeming memandangi Namjoon yang memanggil-manggil.

Benar. Cara terakhir yang dia punya adalah bertanya pada orang lain. Risiko kemungkinan Randa yang nantinya tahu lalu kabur karena tengah dicari adalah prediksi yang dihindari Seokjin, tapi dia sudah kehabisan akal.

Catatan Hoseok hancur bersama hujan. Kopernya lenyap. Ingatan pun sudah sama-samar akan kebenaran informasi.

Namjoon, pemuda baik yang terlihat bisa sangat diandalkan itu adalah pilihan terakhir yang Seokjin punya.

Yang mana, saat mata mereka bersirobok, perwujudan tampan yang tak pernah bosan memberinya lengkungan imut di pipi itu, segera berlari menghampiri.

Seseorang yang amat ramah dan baik juga pribadi yang tak mau terlalu ambil pusing akan suatu hal rumit. Pemikirannya yang sederhana juga beralaskan kepercayaan diri akan hal konkrit di depan mata. Jiwa polos penuh tekad layaknya bocah yang berani menerjang dunia tanpa takut apa pun.

Sungguh membuat Seokjin ingin melindunginya dari kenyataan kejam di luar sana.

"Kupikir kamu tersesat sungguhan," ujarnya lugas di tengah senyum puas, jarak mereka terkikis perlahan, "kupikir pakai ikat rambutnya sudah menawan, ternyata tanpa itu pun, kamu jauh lebih menarik. Cantik."

Seokjin perlu tengadah sedikit saat menjajari pandangan mata mereka. Dadanya tengah sesak akan ketidakberdayaan, tapi pujian lugas sesaat lalu berhasil membuat rasa itu melebur. Walau hanya secuil.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang